Widyanti Yuliandari Bersama kedua anaknya |
Kini saya juga hidup tak
begitu jauh dari hutan, hanya sekitar 60 kilometer dari tempat saya ke Kawasan
Kawah Ijen (Bondowoso-Jawa Timur). Saya PNS dan ibu dua anak yang sedang
bergairahnya melihat dunia. Mereka sungguh berjiwa petualang. Mbolang, begitu
kami sering menamakan aktifitas berpetualang kami. Hutan kota, hutan Perhutani,
sawah, dan alam bebas adalah destinasi yang sungguh membuat kami bersemangat.
Suatu saat kami bercita-cita, harus dapat berpetualang ke “hutan betulan”.
Kelak jika keduanya sudah cukup usia.
Sebagai seorang ibu,
mengikuti perkembangan berita terkait hutan tropis kita, bukan hal yang
melegakan. Kita Menghancurkan Hutan, dan kerusakan hutan menyumbang 20% dari
emisi GRK setiap tahun. Kita membutuhkan hutan dengan luasan besar untuk
‘meredam’ dan melawan perubahan iklim dan menjaga bumi. Tetapi yang terjadi
kita melakukan sebaliknya. Bagaimana nantinya nasib kedua Bolang saya?
Soal manfaat hutan semua
pasti sepakat. Hutan adalah paru-paru dunia penghasil oksigen dan pengatur
siklus hidrologi yang juga menyimpan begitu banyak kehidupan dan kekayaan
keaneka-ragaman hayati. Hutan juga
merupakan rumah bagi jutaan orang rimba yang untuk bertahan hidup bergantung
dari hutan-baik secara fisik maupun spiritual. Ya, hutan tak ubahnya gambaran
surga yang diturunkan Tuhan di dunia. Surga milik warga dunia. Milik kita.
Jadi…. Protect Paradise!
Saya tak bisa bicara hal
yang ndakik-ndakik tentang bagaimana kita menyelamatkan hutan. Saya hanya akan
ngobrol hal-hal yang sederhana yang sudah kami lakukan. Semua dari ranah
domestik, sesuai dengan tugas saya sebagai istri, sebagai ibu dari dua bolang.
Menyelamatkan Hutan dari Perut
Kami ini orang desa. Hidup
sederhana, begitu juga dengan makan. Kami tak biasa makan fastfood. Ayam goreng
berlumuran tepung itu, tak terlalu menarik bagi kami. Apalagi konon makanan
tersebut selain kurang baik buat kesehatan, juga ternyata tak ramah bagi hutan.
Cemilan bagi kami juga sederhana
saja. Yang penting sedap dan nyaman di perut. Buah-buahan dan sayuran itu
camilan utama kami. Juga aneka makanan kukus dan rebus. Jagung rebus, singkong
kukus, kacang rebus, ahh…semua menggugah selera. Sesekali pingin meniru gaya
orang kota, snacking kata mereka, contohnya makan coklat. Waduh, ternyata harus
pilih-pilih ya. Jangan-jangan malah nanti kami sekeluarga ikut jadi penyebab
rusaknya hutan.
Less Tissue, Kembali Ke Serbet dan Saputangan
Kalau yang di atas itu
sih, bahasanya orang kota. Bagi kami sudah biasa. Kebiasaan menenteng
saputangan kemana-mana diwariskan turun temurun. Mulai dari embah putri juga
ibu mempunyai kebiasaan selalu membawa sapu tangan. Bedanya, kalau embah
biasanya menyelipkan di antara bebatan stagennya. Ibu biasa menaruh saputangan
di tasnya.
Tadinya saya kira, bahan
pembuat tisu itu khusus kayu dari pohon yang dibudidayakan. Eh, ternyata pakai
kayu dari hutan tropis juga. Aduh, makin bersalah saja kalau pas terpaksa
sesekali pakai tisu. Padahal bisa dibayangkan berapa kebutuhan tisu dalam
setahun? Lha wong, warung kopi pinggir jalan saja, sekarang pada menyediakan
tisu. Kena minyak gorengan dikit, langsung lap dengan tisu. Padahal embah putri
dan ibu selalu mengajarkan saya menyediakan wijikan lengkap dengan serbet kecil,
saat menghidangkan kudapan. Hemat, dan menurut saya malahan terkesan lebih
mriyayeni. Elegan, gitu lo!
Sekarang Jamannya E-book
Meski terlahir sebagai
wong ndeso, kami dibesarkan dalam atmosfer membaca yang cukup kental. Bapak
seorang PPL kutu buku. Yang dibawa ke rumah selain Trubus, Sinar Tani, dan
aneka modul pelatihannya, juga kerap Intisari dan sejumlah buku pengetahuan
(meski intisarinya lebih sering bekas).
Budaya membaca terbawa
hingga saat ini. Membaca, sambil membaui aroma kertas memang sungguh nikmat.
Namun kami putuskan untuk memprioritaskan e-book. Bentuk buku yang satu ini
kami anggap lebih ramah untuk hutan.
Meski Ndeso Saya Seorang Blogger
Meski ndeso, saya punya
sedikit kemampuan nge-blog. Ini sebenarnya hobi saja.Di sela-sela rutinitas
yang kadang menjemukan, blogging menjadi semacam “me time” (haisshh…ini sih
minjem istilah orang kota lagi) yang ampuh untuk mengusir penat saya. Pun, aktifitas
ini menjadi semacam cara untuk “meneriakkan” apa yang ada dalam kepala dan hati
saya. Seperti apa yang ingin saya sampaikan sekarang, lewat tulisan ini,
Protect Paradise!
Oleh Widyanti
Yuliandari Bondowoso;
Pemenang Lomba Penulisan Blog Hutan Greenpeace
Indonesia