Wartawan
dari, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Telivisi Indonesia (IJTI), Jember Soulth Journalist (JSJ) dan Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember ini menolak keras intervensi yang dilakukan
Kapolres Jember kepada wartawan,
Sambil membawa atribut bertuliskan protes kepada Kapolres Jember, sejumlah wartawan juga melakukan aksi orasi dan tabur bunga sebagai simbul matinya kebebebasan pers khususnya di kabupaten Jember Jawa Timur.
Sambil membawa atribut bertuliskan protes kepada Kapolres Jember, sejumlah wartawan juga melakukan aksi orasi dan tabur bunga sebagai simbul matinya kebebebasan pers khususnya di kabupaten Jember Jawa Timur.
Aksi
tersebut buntut larangan dan teguran keras Kapolres Jember AKBP Sabilul Alif,
kepada wartawati Surya Sri Wahyunik lantaran mengajukan pertanyaan kepada Kapolri Jendral Polisi Badrotin Haiti tentang tindak lanjut kasus penganiayaan dan
pembunuhan sadis dua aktivis tolak tambang pasir besi di Selok Awar-awar.
Larangan wawancarai perkembangan kasus pembunuhan aktivis lingkungan ini disampaikan Kapolres
Sabtu (10/10) ketika sejumlah wartawan menunggu, hendak mewawancarai Kapolri yang sedang mengunjungi tempat
beliau pernah mengencam pendidikan di Ponpes Baitul Arqom Kecamatan Balung
Jember Jawa Timur.
Setelah Kapolri selesai memberi sambutan, pada
sesi wawancara, sejumlah
wartawan tetap mempertanyakan perkembangan
penanganan kasus tambang pasir di pesisir,
yang sebelumnya juga sempat disinggung oleh Kapolri saat berbicara di podium.
Setelah
Kapolri turun dari pentas, Sri
Wahyuni dipanggil Kapolres di depan rumah pengasuh ponpes. Disitulah Kapolres dengan nada tinggi
menegur wartawati harian Surya ini. Sebenarnya, tak hanya Sri Wahyuni yang menanyakan,
melainkan ada beberapa wartawan lain yang turut bertanya.
“Banyak wartawan
yang tau, teguran kapolres dengan nada tinggi di hadapan masyarakat, ini sama dengan melecehkan profesi wartawan, apalagi
tegurannya hanya karena melakukan wawancara terkait perkembangan kasus tambang besi yang menewaskan Salim
Kancil di Lumajang, oleh karena itu kami melakukan solidaritas memprotes sikap
Kapolres,” ujar Bambang Sugiharto wartawan Jember 1 TV.
Sikap Kapolres ini
merupakan bentuk intervensi terhadap jurnalis, “kami tidak mau di dikte dan dikebiri hanya untuk
membuat ABS (Asal Bapak Senang_red), kami berhak
mengajukan wawancara dan pertanyaan apapun kepada sumber berita terlebih kepada
seorang Kapolri dengan pertanyaan yang saat ini menjadi isu nasional,” lanjut Bambang.
Wartawan menanyakan kasus tersebut, menurut ketua FWLM, Ihya Ulumiddin dikarenakan di Jember sendiri banyak tambang dan rawan terjadi konflik baik tambang pasir besi di di pesisir pantai Paseban Kencong, Kepanjuen Gumukmas serta Mojomulyo dan Mojosari Puger
maupun tambang emas di Gunung Manggar kecamatan Wuluhan dan hutan di kecamatan Silo,
Bahkan menurut Udik panggilan akrab wartawan harian Memo
Arema ini, di pesisir Paseban Kencong yang rencananya akan dijadikan tambang
pasir besi beberapa
kali pernah terjadi kisruh, yang berakibat puluhan warta tolak tambang diamankan Polres Jember, sehingga dirinya menganggap wajar jika
wartawan menanyakan kasus tersebut.
Untuk
itu Rully mengecam
tindakan Kapolres Jember. menurut wartawan Radar
Jember ini tidak
selayaknya hal itu diucapkan kepada wartawan apalagi wartawan sedang melaksanakan tugas
jurnalistik.“Kapolres Jember telah berani mengitervensi wartawan, ini
tidak selayaknya diucapkan oleh seorang Kapolres pelayan masyarakat.” Tegas
Rully.
Tak kalah juga
Mahrus sholih wartawan harian online Jember times juga lantang menyerukan
bahwa jurnalis jember sudah mulai di intrervensi oleh aparat, padahal dalam
tugasnya wartawan independent dan dilindungi undang-undang saat
melaksanakan tugas jurnalistik.”Kapolres seharusnya tidak seperti itu.” Tegas
Mahrus.
Hal
senada juga disampaikan Sri Wahyunik. Menurutnya tindakan ini merupakan upaya mendikte terhadap wartawan. “Tindakan Kapolres Sabtu kemarin merupakan
upaya mendikte terhadap jurnalis,” katanya. Sri Wahyunik juga menegaskan adanya sanksi pidana bagi seseorang yang
sengaja melakukan upaya menghalangi kerja jurnalis, sebagaimana diatur dalam
undang-undang pers”. tegasnya
Dalam memperoleh informasi, jurnalis memiliki
hak untuk memilih narasumber yang layak sesuai dengan materi berita dan sudut
pandang yang diberikan. “Jurnalis memiliki hak dalam menetukan narasumber
apalagi Kapolri adalah Commander in Chief
di tubuh Polri, jadi sangat layak sebagai sumber berita,” tegas dia.
Lebih
lanjut Yuni menyampaikan bahwa kejadian serupa
dia alami bukan hanya kali ini tapi sudah berulangkali,” Kami mengalami seperti
ini bukan hanya sekali ini, kami mencoba untuk bersabar, terimakasih kepada
rekan-rekan yang sudah ikut aksi mendukung kebebasan jurnalis khususnya
di Jember.”terang Yuni kepada sejumlah awak media.
Namun sayang, aksi
unjuk rasa ini tidak ditemui langsung oleh Kapolres, sehingga wartawan
sempat kecewa. Wartawan menyatakan sikap mengecam keras sikap Kapolres jember dan
akan melaporkan tindakan tersebut kepada Kapolri, Komisi III DPR RI dan Kompolnas
agar ditindak serta meminta keberadaan tambang di Jember untuk
ditutup.
Aksi kemudian dilanjutkan dengan tabur bunga, Lantunan tahlil
mengiringi prosesi tabur bunga dan sejumlah poster
tuntutan serta kartu pers yang diletakkan
diatas tubuh wartawan yang tergeletak itu. “Ini adalah simbol matinya kebebasan
pers di Jember,” pekiksalah seorang jurnalis Radar Jember.
Penyerahan pernyataan sikap dari Aliansi
Jurnalis Jember
mengakhiri rankaian aksi, kepada
kapolres yang diterima oleh Kepala Sub Bagian Humas Polres Jember, Ajun
Komisaris Polisi Dono Sugiharto, di halaman Mapolres setempat. Kepada wartawan,
AKP Dono berjanji akan menyampaikan surat peryataan tersebut kepada
pimpinannya. “Iya, nanti saya sampaiakan kepada kapolres,” ujarnya, singkat.