
Selain menggelar orasi, mereka juga
melakukan penggalangan dana untuk biaya pengobatan Tosan yang masih kritis.
Aksi gabungan kelompok pemuda di Tanggul itu, dimulai dengan longmarck jalan
mundur ke tugu bambu runcing.
Mereka juga menggalang segenggam pasir
untuk menebus nyawa Salim Kancil, yang dibunuh karena menolak tambang Pasir di
Desa Selok Awar Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang. "Pasir ini sebagai
simbul, bahwa harga pasir tak semahal nyawa," tegas Abrol, salah satu
pendemo.
Katanya, tewasnya Salim Kancil, tak boleh
terjadi di negeri ini. Dia mengaku was was, kejadian semacam itu juga bakal
terjadi di Jember. Apalagi, di Jember banyak peta konflik tambang pasir besi di
Pesisir Jember semacam di Lumajang. "Kita jalan kaki sebagai simbol
kemunduran negera demokrasi Indonesia," tegasnya.
Gandhi Prasetyo, koordinator aksi dalam
orasinya, mengecam aksi pembantaian pelaku pro tambang. Tragedi pembantaian
Salim dan Tosan di Lumajang, menunjukkan bahwa negara tak mampu melindungi
nyawa aktivis. "Jika terus dibiarkan, negara kembali ke era
primitif," sindirnya.
Bagi Gandhi, tudingan lalainya negara
menjamin keselamatan nyawa aktivis, terbukti saat Salim dan Tosan dibantai di
Kantor Desa Selok Awar Awar. "Tidak salah jika kami menuding negara
melakukan pembiaran. Kan, negara memiliki intelejen," tuturnya.
Meski demikian, belum terlambat katanya
jika negara melakukan pembenahan. Apalagi, berani menghukum pelaku pembantaian
dengan hukuman seberat mungkin. "Negara harus mampu mengungkap aktor
intelektual pembantaian Salim dan Tosan," pintanya.
Setelah usai menggelar longmarck, orasi dan
teatrikal, para pendemo kemudian menggelar penggalangan dana di simpang empat
Tanggul. Kata Gandhi, dana yang terhimpun kemudian akan mereka serahkan kepada
keluarga Tosan untuk biaya pengobatan. (eros)