
Pasalnya Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang
diajukan ditandatangani Plt. Demikian disampaikan Ketua Komisi I DPRD
Bondowoso, H Tohari, saat ditemui oleh sejumlah awak media di kantornya pada
Kamis (13/8/2020).
Dokumen itu, menurut Tohari, tidak bisa dibenarkan,
karena kepala OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam hal ini Plt (pelaksana
tugas) tidak dibolehkan menandatangani dokumen yang berkaitan dengan alokasi
anggaran.
“Ada 11 OPD dan 1Camat yang mengajukan RKPD, jumlah 12
Plt. Kami menganggap berkas yang diajukan OPD itu tidak sah karena statusnya
masih Plt, yang kewenangannya terbatas, salah satunya tidak bisa mengambil
kebijakan yang berkaitan dengan alokasi anggaran”, tegasnya.
Tohari menegaskan, dalam penyusunan RKPD dan penyerahan
KUA PPAS, seluruh pejabat Plt itu melanggar aturan dan melampaui wewenang. Adapun
Plt tersebut melanggar Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014, tentang administrasi
pemerintahan. Surat Edaran (SE) BKN nomor 2 Tahun 2019, bahkan juga melanggar
Perbup nomor 48 Tahun 2020.
Dalam UU 30 / 2014, pasal 14 ayat (7), Badan dan/atau
pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui mandat, tidak berwenang
mengambil keputusan atau tindakan bersifat strategis, yang berdampak pada
perubahan status hukum pada aspek kepegawaian dan alokasi anggaran.
“Hal ini juga diperjelas SE BKN 2 Tahun 2019, yang
dimaksud keputusan atau tindakan yang bersifat strategis. Adalah tindakan yang
berdampak besar terhadap perubahan rencana strategis, dan rencana kerja
pemerintah”, jelas politisi PKB ini.
Tak hanya itu, kata Tohari, bahkan dalam Perbup yang
sudah ditandatangani Bupati Bondowoso, di pasal 6 ayat (7) disebutkan, Plh dan
Plt tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek alokasi
anggaran.
"Antara lain, menyusun dan membuat anggaran baru.
Merubah anggaran yang ada dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DPA). Serta tak
boleh menandatangani kebijakan yang bersifat substansial yang berdampak pada
status hukum pada aspek alokasi anggaran," paparnya.