(Oleh Ketua DPC PERSAGI Bondowoso FITRIA NUR RAHMI, S.Gz)
Bondowoso, MAJALAH-GEMPUR.Com. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan atau gagal tumbuh pada anak yang ditandai dengan keadaan tubuh anak yang lebih pendek dibawah standar normal.
Menurut Hoffman et al, 2000; Bloem et al, 2013 bahwa stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan kondisi kejar tumbuh yang tidak memadai. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi balita stunting adalah berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menurut standar WHO child growth standart dengan kriteria stunting jika nilai z score TB/U < -2 Standard Deviasi (SD).
Saat ini di Indonesia stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang masih terus diupayakan penanggulangannya untuk mencapai target 14% pada akhir tahun 2024. Berdasarkan data SSGI (Survei Status Gizi Balita Indonesia) prevalensi stunting secara nasional mengalami penurunan dari 27,67% pada tahun 2019 menjadi 24,4% pada tahun 2021. Dari data SSGI tahun 2021 tersebut prevalensi balita stunting di Jawa Timur sebesar 23,5%.
Angka- angka tersebut masih menunjukkan angka yang tinggi terhadap permasalahan balita gagal tumbuh. Untuk itu penanggulangan masalah stunting ini terus diupayakan dari hulu ke hilir , dengan intervensi spesifik dan intervensi sensitive.
Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya retardasi pertumbuhan pada balita adalah kurangnya asupan protein. Protein merupakan salah satu zat gizi utama yang berperan dalam proses tumbuh kembang anak balita.
Kenaikan asupan protein kurang lebih 15%, sejalan dengan pesatnya perkembangan anak. Angka kecukupan konsumsi protein di indonesia masih terbilang sangat kurang yaitu <80%, sekitar 36,1% penduduk dengan angka kecukupan protein sangat kurang (Kementerian PPN/Bappenas, 2019).
Beberapa hasil penelitian juga menunjukan keterkaitan antara kurangnya konsumsi protein khususnya hewani dengan permasalahan gizi (stunting) salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Oktaviani et al., 2018 dan Siringoringo, 2020 yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah asupan protein hewani dengan perawakan pendek (stunting) pada anak.
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan konsumsi protein hewani 1 gr saja dapat menambahkan tinggi badan menurut usia sekitar 0,02 perbulannya. Protein adalah zat gizi makro yang berfungsi sebagai reseptor yang dapat mempengaruhi fungsi DNA sehingga merangsang atau mengendalikan proses pertumbuhan. Semakin tinggi dan baik kualitas protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi juga kadar insulin (IGF-1) yang bertugas sebagai mediator pertumbuhan dan pembentukan matriks tulang.
Protein hewani adalah protein yang berasal dari hewan, meliputi daging sapi, daging kambing, daging ayam, daging bebek, makanan hasil laut atau seafood, serta telur. Keunggulan protein hewani adalah memiliki komposisi asam amino esensial lebih lengkap dibandingkan protein nabati. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan. Selain itu protein hewani juga kaya akan mikronutrien seperti vitamin B12, vitamin D, DHA (docosahexaenoic acid), zat besi, dan zink. Mikronutrien tersebut memiliki peran penting bagi tubuh, yaitu:
- Vitamin B12 berperan untuk menjaga kesehatan saraf dan otak serta pembentukan sel darah merah.
- Vitamin D berperan dalam penyerapan kalsium dan sistem kekebalan tubuh.
- DHA memiliki peran kesehatan pada otak anak
- Zat besi yang berperan untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan meningkatkan sistem imun tubuh
- Zink berperan dalam mendukung sistem imun tubuh, masa pemulihan, dan baik untuk pencernaan
Angka kecukupan protein yang dianjurkan (AKG) berdasarkan PMK No. 28 Tahun 2019 untuk usia 6-11 bulan perhari sebesar 15 gram, usia 1-3 tahun sebesar 20 gram per-hari, usia 4-6 tahun sebesar 25 gram per-hari dan usia 7-9 tahun sebesar 40 gram per-hari.
Permasalahan konsumsi protein hewani yang kurang adekuat dapat disebabkan karena harga protein hewani relatif mahal. Untuk itu perlu dipertimbangkan tentang pilihan jenis protein hewani yang terjangkau dengan kualitas protein yang baik.
Keterangan: a) Daftar Komposisi Bahan Makanan Indonesia b) Harga Diskoperidag dan survei pasar Januari 2023, c) Harga hasil perhitungan penulis
Berdasarkan hasil perhitungan penulis seperti yang digambarkan dalam tabel diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa harga per 1 (satu) gram protein yang murah adalah dari daging ayam dan telur ayam, serta dari ikan teri kering. Ketiga jenis protein hewani tersebut dapat menjadi alternatif protein hewani yang terjangkau dan berkualitas pada kondisi ekonomi terbatas. Akan tetapi tetap perlu dipertimbangkan adanya variasi dalam pengolahan daging dan telur ayam maupun ikan teri kering untuk disajikan dalam menu keluarga sehari-hari.
Upaya edukasi agar keluarga di Indonesia, terutama untuk usia balita, anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui untuk selalu mengkonsumsi protein hewani setiap waktu makan perlu terus dilakukan sebagai dukungan dalam penanggulangan masalah stunting. Mari memasyarakatkan “Isi Piringku kini Kaya Protein Hewani”.