Jakarta, MAJALAH-GEMPUR.Com. 28 Agustus 2025 – Sidang perdana perkara gugatan perbuatan melawan hukum dengan nilai ganti rugi Rp 4 (empat rupiah) yang diajukan Mohammad Husni Thamrin, seorang advokat sekaligus aktivis asal Jember, Jawa Timur, digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (28/8/2025). Sidang berlangsung di ruang HR. Purwoto S. Gandasubroto dengan majelis hakim dipimpin oleh I Ketut Darpawan.
Agenda sidang dimulai pukul 11.30 WIB dengan pemeriksaan administrasi para pihak, baik penggugat maupun tergugat. Thamrin hadir langsung didampingi kuasa hukumnya, D. Heru Nugroho dari Firma Hukum Dhen & Partners Yogyakarta.
Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, diketahui bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia ditarik sebagai tergugat I, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebagai tergugat II, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sebagai tergugat III, serta Hakim Pengawas pada PN Jakarta Selatan sebagai tergugat IV.
Namun, Jaksa Agung RI yang berposisi sebagai tergugat I tidak hadir. Pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang mewakili menyatakan bahwa Kejagung tidak menerima relaas panggilan. Setelah majelis hakim memeriksa dokumen, dinyatakan bahwa panggilan sidang telah dilakukan secara patut. “Panggilan sudah dikirim tanggal 20 Agustus 2025 dan ada tanda terima dari staf Kejagung,” tegas hakim. Karena pihak tergugat tidak lengkap, majelis menunda persidangan dan menjadwalkan ulang pada Senin, 8 September 2025 dengan agenda mediasi.
Thamrin mengaku kecewa dengan ketidakhadiran Jaksa Agung. “Saya datang jauh-jauh dari Jember, tapi Jaksa Agung yang berkantor dekat PN Jaksel justru tidak hadir dengan alasan belum menerima panggilan. Ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap hukum,” ujarnya. Hal senada juga ditegaskan Heru Nugroho bahwa Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi kejaksaan seharusnya memberi teladan dalam menghormati panggilan pengadilan.
Gugatan ini dilayangkan Thamrin karena kecewa atas tidak dieksekusinya putusan hukum tetap (inkracht) terhadap Silferster Matutina, Ketua Solidaritas Merah Putih (Solmet). Silferster sebelumnya dinyatakan bersalah oleh PN Jakarta Selatan (30 Juli 2018), dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (28 Oktober 2018), dan diputus Mahkamah Agung dengan nomor 287 K/Pid/2019 tanggal 20 Mei 2019. Namun, hingga kini Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan belum melakukan eksekusi.
Thamrin resmi mendaftarkan gugatan pada 19 Agustus 2025 di PN Jakarta Selatan dengan nomor registrasi 847/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL. Dalam gugatannya, ia menilai hak konstitusionalnya sebagai warga negara dirugikan. “Tidak adanya eksekusi putusan menghilangkan kepastian hukum, bukan hanya bagi saya, tetapi juga rakyat Indonesia,” ujarnya.
Ia menuntut agar keempat tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, dihukum membayar kerugian materiil Rp4, serta segera melaksanakan eksekusi. Menurutnya, kegagalan eksekusi mencerminkan penegakan hukum yang tebang pilih dan dapat merusak wibawa negara hukum.
Rabu (27/8), PN Jakarta Selatan juga menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Silferster Matutina. Berdasarkan Pasal 268 ayat (1) KUHAP dan Pasal 66 ayat (2) UU Mahkamah Agung, permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Kejaksaan tidak memiliki alasan untuk menunda eksekusi.
Heru Nugroho menambahkan, penarikan Kejagung hingga hakim pengawas ke dalam gugatan sudah sesuai aturan. Pasal 270 KUHAP menegaskan bahwa eksekusi putusan inkracht menjadi kewajiban jaksa, sementara Pasal 277 KUHAP memberi mandat kepada hakim pengawas untuk mengawasi pelaksanaan putusan. “Jadi gugatan ini adalah bentuk koreksi hukum agar penegakan hukum tidak pilih kasih,” tandasnya. (r1ck)