![]() |
| Sunat Perempuan Masih Marak di Jember, "Pertentangan Keyakinan dan Regulasi" |
Jember, MAJALAH-GEMPUR,Com - Meski praktik sunat perempuan telah dinyatakan berbahaya secara medis dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan, kenyataannya tindakan tersebut masih ditemukan di sejumlah wilayah di Kabupaten Jember.
Fakta ini mengemuka dari sejumlah aktivis perempuan dalam forum “Advokasi Penguatan Komitmen Pemkab Jember dan Tokoh Agama dalam Penghentian Praktik Sunat Perempuan (P2SP)” yang digelar di Aula Bappeda Jember, Senin (24/11/2025).
Dari hasil pemantauan dan penyebaran kuesioner, praktik sunat perempuan ditemukan di Kecamatan Kaliwates, Mayang, Silo, Ambulu, Sukowono, serta beberapa lokasi lain. Praktik tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh dukun bayi, bahkan oknum tenaga kesehatan.
Nurul, aktivis perempuan Fatayat NU Kabupaten Jember, mengungkapkan bahwa praktik yang ditemukan berlangsung dalam berbagai bentuk dari yang paling invasif hingga ritual simbolis yang tetap berisiko.
“Mulai dari memotong sebagian klitoris, mengetik bagian vagina menggunakan uang koin, hingga mengolesi area genital dengan kunyit. Semua tindakan itu berbahaya dan bertentangan dengan aspek kesehatan serta hak asasi perempuan,” ujarnya.
Farida, aktivis perempuan dari Rahima sekaligus penyuluh agama, menguatkan temuan tersebut. Ia mengaku turun langsung ke lapangan dan mendapatkan pengakuan dari warga yang menyaksikan praktik sunat perempuan di wilayah Kaliwates.
“Saya bertemu sendiri dengan warga yang pernah jadi saksi. Artinya, praktik ini bukan sekadar isu, tetapi masih berlangsung,” kata Farida.
Hal senada diungkapkan Mega, aktivis perempuan dan anak, yang melakukan penelitian di wilayah Panti dan Sukorambi. Dari hasil penyebaran kuesioner, ia menemukan bahwa praktik serupa masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat.
“Ternyata praktik itu juga masih ada,” katanya singkat.
Kisah pribadi juga muncul dalam forum tersebut. Cicik F., founder Tanoker Ledokombo, menceritakan bahwa ia pernah disunat ketika masih kecil karena alasan keyakinan keluarga.
Seorang penyuluh agama perempuan yang hadir pun mengaku mengalami hal yang sama pada masa kecilnya. Kesaksian-kesaksian ini menguatkan bahwa praktik sunat perempuan di Jember bukan fenomena baru, melainkan praktik turun-temurun yang sulit hilang.
Para peserta forum menilai bahwa praktik sunat perempuan kerap dibenarkan oleh sebagian masyarakat karena dianggap sebagai tradisi atau bagian dari ajaran agama. Namun, fakta medis dan hukum menunjukkan sebaliknya.
“Selain tidak memiliki dasar medis, tindakan tersebut melanggar hukum dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Eka dari Bappeda Jember.
Secara regulatif, praktik sunat perempuan bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan, Undang-Undang Kesehatan, serta berbagai konvensi internasional yang menegaskan perlindungan terhadap anak dan perempuan.
Dalam forum yang turut dihadiri Bappeda Jember, Dr. Oktin, serta Alvi sebagai moderator, seluruh peserta sepakat bahwa praktik sunat perempuan harus dihentikan.
Para aktivis mendorong pemerintah daerah memperkuat edukasi, meningkatkan pengawasan di tingkat desa dan fasilitas kesehatan, serta melakukan pendataan dan intervensi lebih sistematis.
“Pemerintah daerah harus mengambil langkah nyata. Tidak cukup dengan kampanye, tetapi perlu ada pengawasan dan sanksi yang jelas bagi pelaku praktik ilegal tersebut,” ujar salah satu peserta forum.
Upaya penghentian praktik sunat perempuan di Jember tidak hanya membutuhkan kebijakan, tetapi juga perubahan perspektif di tingkat keluarga dan komunitas. Tantangan terbesar terletak pada kuatnya keyakinan bahwa praktik tersebut merupakan bagian dari tradisi yang harus dijaga.
Para aktivis perempuan berharap hasil temuan ini menjadi titik awal perubahan. Mereka menegaskan bahwa perlindungan hak dan kesehatan perempuan merupakan prioritas yang harus didahulukan oleh semua pihak. (Wahyu/Eros)


