Translate

Iklan

Iklan

Persoalan Gula di PTPN XI: Antara Bahtsul Masail dan Pemburu Rente.

3/01/12, 23:14 WIB Last Updated 2013-12-08T18:40:58Z
Jember,  MAJALAH=GEMPUR.Com. Persoalan gula dan petani tebu, ternyata menjadi masalah yang menarik Menteri BUMN yang baru, Dahlan Iskan,  melakukan Bahtsul Masail untuk ikut memecahkan, yang kesimpulannya, petani kehilangan kepercayaanya kepada BUMN. Ini memang akar persoalan yang tidak pernah diselesaikan selama beberapa tahun. 

Persoalan lain diluar agenda bahtsul masail, ternyata, dalam hubungan petani dengan BUMN, banyak oknum yang bermain untuk mengeruk keuntungan sendiri (pemburu rente), dengan mengatasnamakan kepentingan petani dan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa pengelola pergulaan. Para pemburu rente ini, justru yang menjadi bahan pertimbangan Direksi PTPN dalam menetapkan besaran profit sharing yang merugikan petani. 



Para ulama NU, yang menaungi kebanyakan umat petani tebu, yang sebagian besar Nahdliyin, memandang hubungan transakasi pabrik gula dan petani tersebut, dapat dianggap “batil” tidak sah.

Hampir seribu orang, para pemangku kepentingan pergualaan, mulai dari pegawai rendahan sampai direksi BUMN, dikumpulkan oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN, di gedung Empire Surabaya menyampaikan beberapa permasalahan yang ada di Pabrik Gula BUMN. Minggu 05 Februari 2011, (Jawa Pos, 06 februari 2012).

Dalam Forum itu, yang dikemas dalam acara “Bahtsul Masail Kubro” ditemukan 17 topik yang selama ini menjadi penyebab sulitnya pabrik gula. Topik-topik itu misalnya: mengapa petani tidak berminat menanam tebu di suatu wilayah pabrik, mengapa ada pabrik yang lebih dekat tetapi petani mengirim tebunya ke pabrik yang lebih jauh, mengapa ketidakefisienan pabrik ikut dibebankan kepada petani, mengapa tebu dari jauh diberi insentif ongkos angkut sementara tidak ada insentif kepada petani yang dekat dengan pabrik, apa yang harus dilakukan untuk merebut kepercayaan petani kepada pabrik gula setempat, betapa besar pengaruh kekompakan para kepala bagian di dalam suatu pabrik terhadap keberhasilan pabrik gula, bagaimana agar pembakaran ketel tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak, mungkinkah dilakukan sistem beli putus: petani kirim tebu dan langsung dibayar saat itu, bagaimana mengatasi semakin sulitnya mencari tenaga untuk menebang tebu dan seterusnya.

Topik yang paling panjang tentu yang satu ini: bagaimana merebut kepercayaan petani, agar mereka mau menanam tebu. Agar mereka mengirim tebu ke pabrik yang terdekat. Agar pabrik tidak kekurangan tebu. Agar petani merasakan keadilan dan kesejahteraan.

Menurut Dahlan Iskan : mencari jawabnya tidak sulit. Sudah ada contoh yang sangat berhasil. Pabrik Gula Pesantren Baru dan Pabrik Gula Ngadirejo, keduanya di Kediri, sudah menerapkannya dengan sukses. Demikian juga delapan pabrik gula lainnya, termasuk yang di Lampung dan Palembang. Sejak empat tahun lalu kelompok 10 ini tidak pernah lagi mengalami kesulitan bahan baku. Bahkan sampai berlebihan. Kuncinya satu: Keterbukaan manajemen kepada petani tebu.

Namun, kata kunci itu tidak dapat dilaksanakan di beberapa pabrik gula, yang justru karena kesulitan bahan baku, bahkan berencana menutup 7 pabrik gula yaitu  PG Kanigoro Madiun, PG Gending, PG Wonolangan, PG. Pajarakan di Probolinggo, dan PG Wringinganom, PG. Olean, PG. Panji di Situbondo karena kekurangan lahan dan merugi. Meruginya ketujuh Pabrik Gula  PTPN XI tersebut, dikarenakan buruknya manajemen perusahaan. (Gempur, Juni 2011).

Apakah ada jaminan, jika manajemen pabrik gula di perbaiki dengan memberikan ruang pada petani untuk mengetahui manajemen pabrik, menjadikan kekurangan lahan terpenuhi? Ternyata tidak. Di PTPN XI, persoalan profit sharing yang tidak adil juga menjadi masalah yang dijadikan alasan petani untuk mengirimkan tebu ke pabrik lain. Sehingga tetap saja pabrik gula-pabrik gula dibawah PTPN XI menghadapi kekurangan pasokan tebu.

Bahtsul Masail Kubro, memang tidak secara detail membahas masalah profit sharing, sehingga persoalan “bagaimana merebut kepercayaan petani” dan bagaimana mengembalikan kepercayan petani yang hilang terhadap BUMN khususnya di PTPN XI, belum terjawab. Jebloknya kepercayaan petani, rupanya tidak bisa dijawab hanya dengan membuka manajemen pabrik. Karena justru manajemen pabrik (manajemen direksi) yang secara rapat ditutupi agar jaringan penguasaan gula, yang keuntungannya dinikmati segelintir pemain, tidak gampang dibongkar. Tehnik penguasaan itu, melibatkan pemodal, oknum direksi dan asosiasi petani, dengan melakukan rekayasa terhadap penentuan profit sharing. (Eros/Zq/Yud/Rud/Rus/Iks).
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Persoalan Gula di PTPN XI: Antara Bahtsul Masail dan Pemburu Rente.

Terkini

Close x