Jember, MAJALAH=GEMPUR.Com. Persoalan gula dan petani tebu, ternyata
menjadi masalah yang menarik Menteri BUMN yang baru, Dahlan Iskan, melakukan Bahtsul
Masail untuk ikut memecahkan, yang kesimpulannya, petani kehilangan
kepercayaanya kepada BUMN. Ini memang akar persoalan yang tidak pernah
diselesaikan selama beberapa tahun.
Persoalan lain diluar agenda bahtsul masail, ternyata, dalam hubungan petani dengan BUMN, banyak oknum yang bermain untuk mengeruk keuntungan sendiri (pemburu rente), dengan mengatasnamakan kepentingan petani dan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa pengelola pergulaan. Para pemburu rente ini, justru yang menjadi bahan pertimbangan Direksi PTPN dalam menetapkan besaran profit sharing yang merugikan petani.
Para ulama NU, yang menaungi kebanyakan umat petani tebu, yang sebagian besar Nahdliyin, memandang hubungan transakasi pabrik gula dan petani tersebut, dapat dianggap “batil” tidak sah.
Persoalan lain diluar agenda bahtsul masail, ternyata, dalam hubungan petani dengan BUMN, banyak oknum yang bermain untuk mengeruk keuntungan sendiri (pemburu rente), dengan mengatasnamakan kepentingan petani dan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa pengelola pergulaan. Para pemburu rente ini, justru yang menjadi bahan pertimbangan Direksi PTPN dalam menetapkan besaran profit sharing yang merugikan petani.
Para ulama NU, yang menaungi kebanyakan umat petani tebu, yang sebagian besar Nahdliyin, memandang hubungan transakasi pabrik gula dan petani tersebut, dapat dianggap “batil” tidak sah.
Hampir seribu
orang, para pemangku kepentingan pergualaan, mulai dari pegawai rendahan sampai
direksi BUMN, dikumpulkan oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN, di gedung Empire
Surabaya menyampaikan beberapa permasalahan yang ada di Pabrik Gula BUMN. Minggu
05 Februari 2011, (Jawa Pos, 06 februari 2012).
Dalam Forum
itu, yang dikemas dalam acara “Bahtsul Masail Kubro” ditemukan 17 topik yang
selama ini menjadi penyebab sulitnya pabrik gula. Topik-topik itu misalnya:
mengapa petani tidak berminat menanam tebu di suatu wilayah pabrik, mengapa ada
pabrik yang lebih dekat tetapi petani mengirim tebunya ke pabrik yang lebih
jauh, mengapa ketidakefisienan pabrik ikut dibebankan kepada petani, mengapa
tebu dari jauh diberi insentif ongkos angkut sementara tidak ada insentif
kepada petani yang dekat dengan pabrik, apa yang harus dilakukan untuk merebut
kepercayaan petani kepada pabrik gula setempat, betapa besar pengaruh
kekompakan para kepala bagian di dalam suatu pabrik terhadap keberhasilan
pabrik gula, bagaimana agar pembakaran ketel tidak lagi menggunakan bahan bakar
minyak, mungkinkah dilakukan sistem beli putus: petani kirim tebu dan langsung
dibayar saat itu, bagaimana mengatasi semakin sulitnya mencari tenaga untuk
menebang tebu dan seterusnya.
Topik yang
paling panjang tentu yang satu ini: bagaimana merebut kepercayaan petani, agar
mereka mau menanam tebu. Agar mereka mengirim tebu ke pabrik yang terdekat.
Agar pabrik tidak kekurangan tebu. Agar petani merasakan keadilan dan
kesejahteraan.
Menurut
Dahlan Iskan : mencari jawabnya tidak sulit. Sudah ada contoh yang sangat berhasil.
Pabrik Gula Pesantren Baru dan Pabrik Gula Ngadirejo, keduanya di Kediri, sudah
menerapkannya dengan sukses. Demikian juga delapan pabrik gula lainnya,
termasuk yang di Lampung dan Palembang. Sejak empat tahun lalu kelompok 10 ini
tidak pernah lagi mengalami kesulitan bahan baku. Bahkan sampai berlebihan.
Kuncinya satu: Keterbukaan manajemen kepada petani tebu.
Namun, kata
kunci itu tidak dapat dilaksanakan di beberapa pabrik gula, yang justru karena
kesulitan bahan baku, bahkan berencana menutup 7 pabrik gula yaitu PG Kanigoro Madiun, PG
Gending, PG Wonolangan, PG. Pajarakan di Probolinggo, dan PG Wringinganom, PG.
Olean, PG. Panji di Situbondo karena kekurangan lahan dan merugi. Meruginya
ketujuh Pabrik Gula PTPN
XI tersebut, dikarenakan buruknya manajemen perusahaan. (Gempur, Juni 2011).
Apakah ada
jaminan, jika manajemen pabrik gula di perbaiki dengan memberikan ruang pada
petani untuk mengetahui manajemen pabrik, menjadikan kekurangan lahan
terpenuhi? Ternyata tidak. Di PTPN XI, persoalan profit sharing yang tidak adil
juga menjadi masalah yang dijadikan alasan petani untuk mengirimkan tebu ke
pabrik lain. Sehingga tetap saja pabrik gula-pabrik gula dibawah PTPN XI
menghadapi kekurangan pasokan tebu.
Bahtsul Masail Kubro, memang tidak secara
detail membahas masalah profit sharing, sehingga persoalan “bagaimana merebut
kepercayaan petani” dan bagaimana mengembalikan kepercayan petani yang hilang
terhadap BUMN khususnya di PTPN XI, belum terjawab. Jebloknya kepercayaan
petani, rupanya tidak bisa dijawab hanya dengan membuka manajemen pabrik.
Karena justru manajemen pabrik (manajemen direksi) yang secara rapat ditutupi
agar jaringan penguasaan gula, yang keuntungannya dinikmati segelintir pemain, tidak
gampang dibongkar. Tehnik penguasaan itu, melibatkan pemodal, oknum direksi dan
asosiasi petani, dengan melakukan rekayasa terhadap penentuan profit sharing. (Eros/Zq/Yud/Rud/Rus/Iks).