Oleh: Idhar (Penulis lepas dari Surabaya)
Surabaya, MAJALAH-GEMPUR.COM. Kebijakan menaikkan cukai, tidak
sepenuhnya mengurangi konsumsi rokok, fakta empirisnya bukan saja produksi rokok meningkat tapi juga mengancam industry Rokok sekalah kecil dan menengah.
Meski kebijakan ini selalu menghadirkan polemic, dengan dalih peningkatan pendapatan negara
sampai untuk mengendalikan jumlah konsumsi rokok. Pemerintah bersikukuh tetap menaikkan cukai, meski kenyataannya tidak mempu turunkan jumlah perokok.
Dari data Bank Indonesia, naiknya cukai rokok sumbangan industri rokok termasuk 10 industri besar setiap tahunnya terus meroket. Dari Rp 22, 469 (triliun rupiah) tahun 2002, tahun 2010 melejit, sebesar 57 (triliun rupiah), pada tahun 2011 62,759 (triliun rupiah), bahkan pemerintah melalui kementrian keuangan menargetkan penerimaan cukai Rp 72,44 triliun pada tahun 2012 atau naik 6,4 dibanding target APBN-Perubahan 2011.
Yang menjadi pertayaan, apakah
kebijakan ini seperti yang dikemukakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok
untuk mengurangi konsumsi? Pada faktanya tidak selalu benar, karena dari
data-data yang ada kenaikan cukai rokok selalu diiringi dengan kenaikan jumlah
produksi rokok. Secara sederhana untuk menaikkan pendapatan dari sektor cukai
rokok, maka jumlah produksi rokok harus ditingkatkan, agar memenuhi target
anggaran pendapatan yang telah ditetapkan pemerintah.
Tingkat kenaikan cukai
rokok dapat dilihat dari data-data sebagai berikut. Berdasarkan data statistik
kementerian perindustrian, produksi rokok tahun 2009 mencapai 245 miliar atau
lebih tinggi dari tahun 2008 yang mencapai 240 miliar atau jauh lebih tinggi
dibandingkan tahun 2007 yang hanya sebesar 225 miliar batang.
Dari sini dapat dilihat
bahwa kebijakan untuk menaikkan cukai rokok, tidak sepenuhnya dapat mengurangi
jumlah konsumsi rokok, karena pada fakta empirisnya kebijakan untuk menaikkan
cukai rokok selalu diiringi dengan kenaikkan jumlah produksi rokok
perbatangnya.
Sebagaimana data-data yang
disajikan diatas, semakin mengkonfirmasi bahwa pengendalian jumlah perokok
melalui kenaikkan cukai tidak selamanya tepat. Sebenarnya kebijakan kenaikan cukai
rokok merupakan kebijakan yang bermuka
dua, disatu sisi “Pemerintah ingin
terus meningkatkan pendapatan dari cukai rokok yang terus meningkat setiap
tahunnya, tapi disisi lain pemerintah ingin membatasi jumlah perokok di indonesia”.
Membunuh Industri Skala Kecil dan Menengah
Pemerintah menaikkan cukai cukai rokok berkisar antara 15% -
16% didasari untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk kebiasaan merokok,
terutama pada perokok pasif, serta melindungi anak-anak dari kebiasaan merokok.
Argumentasi yang
kedua adalah untuk meningkatkan target pendapatan negara dari cukai rokok naik
dari Rp 69 triliun tahun ini menjadi Rp 72,4 triliun tahun depan. (Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) No 167/PMK.011/2011 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau
yang terbit 9 November 2011).
Bukankah masyarakat
sudah cukup terlindungi dari bahaya merokok, adanya perda-perda yang mengatur
larangan merokok yang dikeluarkan oleh beberapa daerah. Perokok tidak sebebas
dulu, orang kalau merokok harus ketempat-tempat yang telah disediakan terutama
di gedung perkantoran dan mall.
Sementara,
argumentasi untuk menaikkan pendapatan negara dari cukai masih bisa dimaklumi,
dari para pengusaha rokok kecil dan menengah, karena sudah menjadi lazim bahwa
cukai selalu naik setiap tahunnya, untuk mengejar target pendapatan negara.
Pertanyaannya adalah dimana
komitmen pemerintah untuk melindungi pengusaha rokok skala kecil dan menengah,
sebagaimana diutarakan Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh
Indonesia (Formasi) Heri Susianto, mereka tidak mempersoalkan naiknya cukai
dari Rp 65 menjadi Rp 75 per batang. Yang dipersoalkan perubahan golongan II
dan III pengusaha rokok sigaret kretek tangan (SKT) atau sigaret putih tangan
(SPT) akibat perubahan batasan jumlah produksi.
Untuk produksi
SKT/SPT golongan II dibatasi antara 300 juta - 2 miliar batang dari sebelumnya
400 juta - 2 miliar batang, sedangkan golongan III maksimal 300 juta batang
dari sebelumnya 400 juta batang. Dengan adanya perubahan penggolongan ini maka banyak
perusahaan yang dulunya masuk skala/golongan III, akan masuk golongan II,
implikasi perusahaan yang dulunya masuk golongan III menjadi II akan membayar
cukai yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Bila kita baca lebih
jauh implikasi yang terjadi dari penggolongan ini adalah adanya upaya
sistematis untuk mematikan usaha-usaha skala kecil dan menengah, dengan
sendirinya akan terjadi hukum alam karena usaha-usaha skala kecil dan menengah
semakin tidak mampu untuk menyesuaikan dengan kenaikan cukai yang ada.
Sebagaimana lazim
diketahui bahwa produk rokok yang dihasilkan pabrikan skala kecil dan menengah
diperuntukkan bagi perokok untuk kelas menengah kebawah karena harga rokok yang
murah dan terjangkau, sedangkan rokok yang dihasilkan industri-industri besar
merupakan untuk golongan masyarakat dengan kategori pendapatan kelas menengah
ke atas, yang selama ini beredar luas dipasaran dan menguasai pangsa pasar
rokok Indonesia.
Hasil study yang
dilakukan oleh peneliti dari Concordia University di Montreal, Kanada,
menemukan bahwa orang kaya dan dewasa berusia 25 - 44 tahun tidak terhalang
oleh kebijakan pemerintah terhadap pemberlakuan pajak rokok. Mereka terus
menghisap rokok sekalipun harga sudah dinaikkan. Hasil penelitian ini juga
menemukan bahwa pajak yang tinggi mendorong mereka berpenghasilan rendah dan
menengah untuk berhenti.
Namun, kenaikan harga
tidak serta merta berpengaruh dalam membujuk perokok kaya untuk berhenti. Lebih
lanjut hasil penelitian ini menunjukkan bahwa “secara keseluruhan, penerapan
harga pajak rokok hanya berpengaruh kepada mereka yang berasal dari kalangan
kelompok sosial rendah. Sedangkan mereka yang memiliki status sosial lebih
tinggi tidak berpengaruh.
Berkaca dari hasil
penelitian yang dilakukan Concordia University di Montreal, Kanada, ini
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok dengan
sendirinya akan membunuh secara pelan-pelan industri rokok skala kecil dan
menengah, karena konsumen rokok skala kecil/menengah tidak mampu lagi membeli
rokok.
Hal ini berbeda
dengan indutri rokok besar yang konsumennya masyarakat kelas menengah atas,
masih akan terus mengkonsumsi rokok, meskipun terjadi kenaikan cukai setiap
tahunnya, dan tentu saja industri rokok skala besar akan semakin besar, dan
skala kecil akan semakin membuncit.
Tak Lepas Dari Kegemaran Masyarakat Menghisap Rokok
Penerimaan pemerintah yang
besar dari cukai rokok ini tak lepas dari kegemaran masyarakat indonesia untuk
menghisap rokok, bahkan saking besarnya konsumsi merokok masyarakat Indonesia,
telah menjadikan rokok sebagai konsumsi yang kedua setelah beras. tidak hanya
menjadi kebutuhan yang kedua setelah beras.
Produk rokok khususnya
rokok kretek telah menjadi bagian budaya masyarakat indonesia, lihat saja
disetiap hajatan selain ada hidangan makanan, juga dihadirkan rokok sebagai
bagian dari pelengkap hidangan yang disajikan tuan rumah. Tak mengherankan
memang kalau dikatakan rokok telah menjadi konsumsi kedua setelah beras.
Kegemaran merokok
masyarakat Indonesia juga menempatkan Indonesia sebagai negara pada urutan
kelima sebagai negara dengan jumlah pengkonsumsi rokok didunia, dan pada urutan
ketiga jumlah terbesar pada sisi jumlah perokoknya.