Translate

Iklan

Iklan

Kenaikan Cukai Rokok; Tingkatkan Pendapatan, Batasi Jumlah Perokok Atau Membunuh Industri Kecil ?

9/05/12, 11:00 WIB Last Updated 2013-12-08T18:33:36Z

Oleh: Idhar (Penulis lepas dari Surabaya)

Surabaya, MAJALAH-GEMPUR.COM. Kebijakan menaikkan cukai, tidak sepenuhnya mengurangi konsumsi rokok, fakta empirisnya bukan saja produksi rokok meningkat tapi juga mengancam industry Rokok sekalah kecil dan menengah.

Meski kebijakan ini selalu menghadirkan polemic, dengan dalih peningkatan pendapatan negara sampai untuk mengendalikan jumlah konsumsi rokok. Pemerintah bersikukuh tetap menaikkan cukai, meski kenyataannya tidak mempu turunkan jumlah perokok.

Dari data Bank Indonesia, naiknya cukai rokok sumbangan industri rokok termasuk 10 industri besar setiap tahunnya terus meroket. Dari Rp 22, 469 (triliun rupiah) tahun 2002, tahun 2010 melejit, sebesar 57 (triliun rupiah), pada tahun 2011 62,759 (triliun rupiah), bahkan pemerintah melalui kementrian keuangan menargetkan penerimaan cukai Rp 72,44 triliun pada tahun 2012 atau naik 6,4 dibanding target APBN-Perubahan 2011.

Yang menjadi pertayaan, apakah kebijakan ini seperti yang dikemukakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok untuk mengurangi konsumsi? Pada faktanya tidak selalu benar, karena dari data-data yang ada kenaikan cukai rokok selalu diiringi dengan kenaikan jumlah produksi rokok. Secara sederhana untuk menaikkan pendapatan dari sektor cukai rokok, maka jumlah produksi rokok harus ditingkatkan, agar memenuhi target anggaran pendapatan yang telah ditetapkan pemerintah.

Tingkat kenaikan cukai rokok dapat dilihat dari data-data sebagai berikut. Berdasarkan data statistik kementerian perindustrian, produksi rokok tahun 2009 mencapai 245 miliar atau lebih tinggi dari tahun 2008 yang mencapai 240 miliar atau jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 yang hanya sebesar 225 miliar batang.

Dari sini dapat dilihat bahwa kebijakan untuk menaikkan cukai rokok, tidak sepenuhnya dapat mengurangi jumlah konsumsi rokok, karena pada fakta empirisnya kebijakan untuk menaikkan cukai rokok selalu diiringi dengan kenaikkan jumlah produksi rokok perbatangnya.

Sebagaimana data-data yang disajikan diatas, semakin mengkonfirmasi bahwa pengendalian jumlah perokok melalui kenaikkan cukai tidak selamanya tepat. Sebenarnya kebijakan kenaikan cukai rokok merupakan kebijakan yang bermuka dua, disatu sisiPemerintah ingin terus meningkatkan pendapatan dari cukai rokok yang terus meningkat setiap tahunnya, tapi disisi lain pemerintah ingin membatasi jumlah perokok di indonesia”.


Membunuh Industri Skala Kecil dan Menengah

Pemerintah menaikkan cukai cukai rokok berkisar antara 15% - 16% didasari untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk kebiasaan merokok, terutama pada perokok pasif, serta melindungi anak-anak dari kebiasaan merokok.

Argumentasi yang kedua adalah untuk meningkatkan target pendapatan negara dari cukai rokok naik dari Rp 69 triliun tahun ini menjadi Rp 72,4 triliun tahun depan. (Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 167/PMK.011/2011 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang terbit 9 November 2011).

Bukankah masyarakat sudah cukup terlindungi dari bahaya merokok, adanya perda-perda yang mengatur larangan merokok yang dikeluarkan oleh beberapa daerah. Perokok tidak sebebas dulu, orang kalau merokok harus ketempat-tempat yang telah disediakan terutama di gedung perkantoran dan mall.

Sementara, argumentasi untuk menaikkan pendapatan negara dari cukai masih bisa dimaklumi, dari para pengusaha rokok kecil dan menengah, karena sudah menjadi lazim bahwa cukai selalu naik setiap tahunnya, untuk mengejar target pendapatan negara.
  
Pertanyaannya adalah dimana komitmen pemerintah untuk melindungi pengusaha rokok skala kecil dan menengah, sebagaimana diutarakan Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto, mereka tidak mempersoalkan naiknya cukai dari Rp 65 menjadi Rp 75 per batang. Yang dipersoalkan perubahan golongan II dan III pengusaha rokok sigaret kretek tangan (SKT) atau sigaret putih tangan (SPT) akibat perubahan batasan jumlah produksi.

Untuk produksi SKT/SPT golongan II dibatasi antara 300 juta - 2 miliar batang dari sebelumnya 400 juta - 2 miliar batang, sedangkan golongan III maksimal 300 juta batang dari sebelumnya 400 juta batang. Dengan adanya perubahan penggolongan ini maka banyak perusahaan yang dulunya masuk skala/golongan III, akan masuk golongan II, implikasi perusahaan yang dulunya masuk golongan III menjadi II akan membayar cukai yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Bila kita baca lebih jauh implikasi yang terjadi dari penggolongan ini adalah adanya upaya sistematis untuk mematikan usaha-usaha skala kecil dan menengah, dengan sendirinya akan terjadi hukum alam karena usaha-usaha skala kecil dan menengah semakin tidak mampu untuk menyesuaikan dengan kenaikan cukai yang ada.

Sebagaimana lazim diketahui bahwa produk rokok yang dihasilkan pabrikan skala kecil dan menengah diperuntukkan bagi perokok untuk kelas menengah kebawah karena harga rokok yang murah dan terjangkau, sedangkan rokok yang dihasilkan industri-industri besar merupakan untuk golongan masyarakat dengan kategori pendapatan kelas menengah ke atas, yang selama ini beredar luas dipasaran dan menguasai pangsa pasar rokok Indonesia.

Hasil study yang dilakukan oleh peneliti dari Concordia University di Montreal, Kanada, menemukan bahwa orang kaya dan dewasa berusia 25 - 44 tahun tidak terhalang oleh kebijakan pemerintah terhadap pemberlakuan pajak rokok. Mereka terus menghisap rokok sekalipun harga sudah dinaikkan. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa pajak yang tinggi mendorong mereka berpenghasilan rendah dan menengah untuk berhenti.

Namun, kenaikan harga tidak serta merta berpengaruh dalam membujuk perokok kaya untuk berhenti. Lebih lanjut hasil penelitian ini menunjukkan bahwa “secara keseluruhan, penerapan harga pajak rokok hanya berpengaruh kepada mereka yang berasal dari kalangan kelompok sosial rendah. Sedangkan mereka yang memiliki status sosial lebih tinggi tidak berpengaruh.

Berkaca dari hasil penelitian yang dilakukan Concordia University di Montreal, Kanada, ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok dengan sendirinya akan membunuh secara pelan-pelan industri rokok skala kecil dan menengah, karena konsumen rokok skala kecil/menengah tidak mampu lagi membeli rokok.

Hal ini berbeda dengan indutri rokok besar yang konsumennya masyarakat kelas menengah atas, masih akan terus mengkonsumsi rokok, meskipun terjadi kenaikan cukai setiap tahunnya, dan tentu saja industri rokok skala besar akan semakin besar, dan skala kecil akan semakin membuncit.

Tak Lepas Dari Kegemaran Masyarakat Menghisap Rokok
Penerimaan pemerintah yang besar dari cukai rokok ini tak lepas dari kegemaran masyarakat indonesia untuk menghisap rokok, bahkan saking besarnya konsumsi merokok masyarakat Indonesia, telah menjadikan rokok sebagai konsumsi yang kedua setelah beras. tidak hanya menjadi kebutuhan yang kedua setelah beras.

Produk rokok khususnya rokok kretek telah menjadi bagian budaya masyarakat indonesia, lihat saja disetiap hajatan selain ada hidangan makanan, juga dihadirkan rokok sebagai bagian dari pelengkap hidangan yang disajikan tuan rumah. Tak mengherankan memang kalau dikatakan rokok telah menjadi konsumsi kedua setelah beras.

Kegemaran merokok masyarakat Indonesia juga menempatkan Indonesia sebagai negara pada urutan kelima sebagai negara dengan jumlah pengkonsumsi rokok didunia, dan pada urutan ketiga jumlah terbesar pada sisi jumlah perokoknya.

Dari jumlah perokok tersebut sebagain besar adalah perokok kretek atau 88% adalah penghisap rokok kretek. Rokok kretek sendiri merupakan produk asli indonesia dengan kandungan lokalnya hampir 100% Indonesia, selain itu kalau dirata-rata dari jumlah perokok tersebut, dalam seharinya para perokok menghisap 11 batang perharinya.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kenaikan Cukai Rokok; Tingkatkan Pendapatan, Batasi Jumlah Perokok Atau Membunuh Industri Kecil ?

Terkini

Close x