Translate

Iklan

Iklan

MUNDURNYA DEMOKRASI DESA

12/28/07, 00:44 WIB Last Updated 2017-04-08T05:40:10Z
OTONOMI DAERAH DAN Kemunduran Demokrasi di Tingkat Desa
Oleh : Drs Sueseno (Pengamat Otonomi Daerah: Bagian Pertama)

Republik Indonesia hampir tidak pernah mempunyai regulasi tentang desa yang mapan, kokoh, dan legitimate. Selama enam dekade usia republik, regulasi tentang desa selalu mengalami bongkar-pasang, selalu berubah silih berganti, yang semuanya kurang bermakna untuk mengangkat harkat-martabat desa. 

Ada sebuah kesimpulan umum bahwa pemerintah kaya peraturan, tetapi miskin kebijakan atau pemerintah lebih banyak mengatur desa daripada mengurus desa. Desa selalu menjadi obyek pengaturan dan proyek-proyek pembangunan, yang justru membuat desa tidak berdaya, tergantung dan terpinggirkan. Dalam konteks struktur pemerintahan yang sentralistik dan korporatis, selalu terjadi benturan antara “suara pusat” dan “suara lokal”.

Suara pusat di Jakarta selalu berbicara tentang peneguhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai benteng yang angkuh bagi sentralisasi, menganggap daerah dan desa tidak siap mengelola otonomi, menekankan struktur pemerintahan yang hirarkhis-sinkronis dan mengedepankan pola yang seragam (baku) untuk mengatur desa. Sebaliknya suara lokal selalu menuntut berbagai hal: distribusi kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil, otonomi desa yang lebih jelas dan penghargaan keragaman lokal.

Benturan dua suara itu sampai sekarang masih berjalan yang membuat Republik Indonesia belum mempunyai “suara nasional” yang mampu melampaui suara lokal dan suara pusat. Kedepan semua pihak tentu berharap akan terbangunnya suara nasional, yakni imajinasi dan konstruksi yang utuh tentang Indonesia, dimana suara pusat yang “menghargai” suara lokal dan suara lokal yang “menghormati” suara pusat.

Sebuah regulasi yang sangat bersejarah bagi desa adalah UU No. 5/1979. UU ini mempunyai karekter sentralistik, otoritarian dan korporatis yang melakukan kontrol ketat kepada desa. Suara lokal di seluruh negeri mengemukakan bahwa UU No. 5/1979 menerapkan penyeragaman desa dengan model Jawa, yang menghancurkan identitas lokal, struktur pemerintahan lokal dan kearifan lokal.

Masyarakat lokal juga kehilangan kepemilikan sumberdaya alam yang membuat mereka kehilangan basis sumber penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood). Di aras Desa, UU No. 5/1979 menciptakan sebuah sistem politik yang otokratis, dengan cara menempatkan kepala desa sebagai “penguasa tunggal” tanpa kontrol dari institusi parlemen maupun rakyat desa. Akibatnya kepala desa tidak menjadi pemimpin yang berbasis rakyat desa, melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan birokrasi untuk mengontrol desa.

Pada saat yang sama, dengan bimbingan model pembangunan desa terpadu (integrated rural development) sejak 1970-an, pemerintah meluncurkan berbagai proyek bantuan pembangunan kepada desa, dengan janji mengurangi keterbelakangan dan kemiskinan desa seraya memacu pertumbuhan ekonomi desa. Proyek modernisasi itu tentu telah berhasil mengubah wajah fisik desa, memacu pertumbuhan ekonomi desa dan secara statistik berhasil mengurangi angka kemiskinan desa.

Akan tetapi perubahan itu belum menjadi fondasi yang kokoh bagi kesejahteraan warga desa. Secara statistik angka kemiskinan terus menurun dari tahun ke tahun, tetapi orang desa tetap hidup dalam berbagai bentuk kerentanan (bencana, wabah penyakit, kekurangan gizi, gagal panen, dan sebagainya), yang membuat desa selalu dekat dengan keterbelakangan dan kemiskinan.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • MUNDURNYA DEMOKRASI DESA

Terkini

Close x