Translate

Iklan

Iklan

Sengketa Tanah Ketajek Jember

5/05/09, 01:12 WIB Last Updated 2010-12-05T17:25:40Z
Secuil. Gambaran Rakyat Panti, Merebut tanah hak miliknya.
Sengketa tanah, hasil pembabatan hutan seluas 710 Ha.dan tanah bekas hak erfpacht seluas 478 Ha atas nama Landbouw Mij Out Djember te Defenter (LMODTD) dengan Verponding Nomor 2712 seluas 125, 73 Ha dan Verponding Nomor 2713 seluas 352,14 Ha antara rakyat dengan Perusahaan daerah Perkebunan (PDP) Jember yang terletak didesa Suci dan Pakis, kecamatan Panti, kabupaten Jember masih menyisahkan persoalan.

Tanah yang telah menjadi hutan kembali, setelah ditelantarkan NV LMODTD sejak tahun 1930. Pada tahun 1942, dibuka kembali oleh warga. Warga juga membuka lahan yang berada di sekitar lahan erfpacht.. Pembukaan hutan oleh warga tidak mendapat tentangan sama sekali dari pihak NV LMODTD. Pada tahun 1949, penguasaan erfpacht hutan Ketajek beralih ke tangan Tan Tjhiang Bek. Untuk menggarap hutan tersebut, Tan Tjhiang Bek mengadakan perjanjian kerja sama dengan warga di sekitar Ketajek (mayoritas warga desa Suci dan Pakis). sehingga berdirilah perkampungan dan berbagai sarana penunjang lainnya, seperti perumahan, musholla, kuburan, adanya kepala kampung, dsb.
Guna menyambung hidup, warga menanam berbagai tanaman pangan (singkong, jagung, dll) maupun tanaman keras (kopi, durian, kelapa, dsb). Hingga tahun 1952, Tan Tjhiang Bek tidak mampu memenuhi perjanjiannya: warga diterlantarkan begitu saja dan tidak pernah dibayar. Warga tetap bertahan dengan memungut hasil tanaman pada yang mereka buka.
Pada tahun 1952 pula, Tan Tjhiang Bek menyuruh warga menanam randu, namun warga meminta supaya upah mereka diberikan dahulu. Tan Tjhiang Bek yang masih belum memenuhi perjanjian tersebut, malahan mendatangkan kuli dari luar untuk menanam randu. Maka timbullah sengketa antara Tan Tjhiang Bek dengan warga. Persengketaan ini dibawa ke Kepala Desa Suci (bapak Suha, sepuh), dan Tan Tjhiang Bek akhirnya bersedia menyerahkan lahan tersebut kepada warga sesuai yang telah dibuka oleh warga. Setelah sengketa dan penyerahan lahan oleh Tan Tjhiang Bek, dan pindah ke Surabaya.
Sejak tahun 1942 dan secara lebih masal pada tahun 1949, secara de facto warga menguasai dan merasa memiliki tanah Ketajek. Pada tahun 1953, warga telah membayar pajak bumi yang dibuktikan oleh petok. Namun penguasaan atas lahan yang dilakukan sejak tahun 1942 hingga pertengahan tahun 1950-an dan telah mendapatkan beberapa surat bukti tersebut masih belum membuat hati warga tenang.
Maka pada tahun 1957 warga meminta bantuan dari Persatuan Tani Nasional Indonesia (PTNI) cabang Jember yang diketuai oleh bapak M. Yasir (kini masih hidup dan siap memberikan kesaksian), sebuah organisasi tani underbouw Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk mengupayakan status hukum tanah bagi warga yang diharapkan memiliki kekuatan lebih pasti. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan dimasukkannya lahan Ketajek dalam obyek landreform bagi tanah yang merupakan bekas erfpacht NV LMODTD seluas 478 ha.
Pada tahun 1964, terbitlah S.K. Menteri Pertanian dan Agraria nomor 50/KA/64 yang ditindaklanjuti oleh S.K. Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur nomor 1/Agr/6/XI/122/HM/III tentang redistribusi lahan bagi 803 warga. Adapun lahan yang lain (yang tidak merupakan erfpacht NV LMODTD, berarti tidak termasuk obyek landreform), tetap didiami dan dirawat dengan baik oleh warga.
Penyerahan kedua S.K. tersebut dilakukan di Kantor Kecamatan Panti. Banyak warga hadir pada proses penyerahan tersebut. Penyerahan S.K. tersebut dilakukan oleh Bupati KDH tingkat II Jember (Bapak Oetomo) kepada warga. Hadir pula dalam penyerahan surat tersebut antara lain; Soetopo (Camat Panti), Soeparman (Kapolsek Panti), Goentoro (Danramil Panti), Madram (Carik Desa Suci) dan Moch. Yasir (Ketua Persatuan Tani Nasional Indonesia cabang Jember). Dengan turunnya S.K. tersebut, warga merasa makin tenteram karena memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Bahkan sesuai ketentuan S.K. tersebut, warga membayar uang ganti rugi kepada negara melalui Bank Bumi Daya cabang Jember hingga tahun 1969.Pada tahun 1967, Pemerintahan Daerah tingkat II Jember membentuk tim penyerahan Petok D kepada warga. Penyerahan tersebut dilakukan di kantor Kecamatan Panti, dan diserahkan untuk masing-masing desa (desa Suci dan Pakis). Untuk desa Suci, yang menerima Petok D sebanyak 176 orang, dengan panitia pelaksana Soetopo (camat Panti), Kartadji (Wakapolsek Panti), Nasuha (Kades Suci), Madran (Carik Suci), dan Pak Sumariyah (Kepala Dusun Ketajek). Sedangkan untuk desa Pakis yang menerima sebanyak 134 orang, dengan panitia pelaksana Soetopo (Camat Panti), Kartadji (Wakapolsek Panti), Sarijo (Carik Desa Pakis), Sami (Kepala Dusun Ketajek) dan Atim (ketua RT 31 dusun Ketajek). Pada saat tersebut, warga makin merasa memiliki kekuatan hukum yang kuat atas tanah tersebut berdasar hukum formil yang berlaku: warga sudah membayar pajak sejak tahun 1953, mendapat S.K. Menteri Pertanian dan Agraria nomor 50/KA/64 dan S.K. Kinag Jatim nomor 1/Agr./6/XI/122/HM/III; membayar uang ganti rugi kepada negara; dan memiliki Petok D. Dan di samping secara yuridis formal, secara ipso facto (dalam rumusan hukum adat), warga telah menempati lahan tersebut untuk waktu yang lama, tanpa mendapat gangguan atau halangan. Pada saat tersebut, di dusun Ketajek telah terdapat perkampungan besar dengan adanya kuburan, Masjid, 4 Musholla dan ratusan bangunan rumah. Eros (Bersambung …)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sengketa Tanah Ketajek Jember

Terkini

Close x