Translate

Iklan

Iklan

Reformasi Birokrasi sebagai Bagian Dari Pemberantasan Korupsi

12/09/10, 05:13 WIB Last Updated 2018-10-30T14:52:02Z

Oleh: Sapto Raharjanto.

Reformasi Birokrasi diawali Cina pada abad 11 (Dinasti Song; 960-1279), di ikuti Eropa pada abad 14. selanjutnya Jepang pada 1860an pada era Restorasi Meiji dengan Reformasi politik dan sosial, tahun 1960an. Amerika Serikat tahun 1883 dengan The Pendleton Act. sedangkan India memulai reformasi di tahun 1991, Australia menghembuskan angin reformasi birokrasi 30 tahun yang lalu. 

Cina melakukan Reformasi Birokrasi dan Pertanian dengan UU baru Xin-Fa (PM Wang Anshi) dengan 6 kali Reformasi Birokrasi dan Ekonomi. Diikuti Eropa yang belajar dari pengalaman Cina. Sedangkan di Jepang disamping melakukan Reformasi politik, social. Pada tahun 1979 juga melakukan reformasi adminstrasi dan ekonomi (1996) dengan keluarnya 17 UU paket reformasi (PM Hashimoto). Amerika Serikat, melakukan reformasi adminstrasi dan pegawai dengan sistem merit dan komisi pegawai. Telah terjadi 13 kali reformasi dengan pembentukan 9 kali komisi reformasi selama tahun 1883-1993. sedangkan di India dimasa PM Narashima Rao.

Indonesia sendiri sebenarnya sudah mulai ingin mempercepat proses reformasi birokrasi, dalam rangka menuju arah reformasi birokrasi untuk perbaikan semangat yang mendasari adalah sebuah kesungguhan (Seriousness) dan ke “ajeg’an (Consistency), selain itu reformasi birokrasi akan terwujud dengan konsep yang jelas yaitu Crystal Clear Concept, Competence, Connections, dan comitment.

Pilar yang dibutuhkan di dalam reformasi birokrasi adalah; berbagai produk peraturan tentang pemberantasan korupsi, peraturan tentang perencanaan pembangunan di tingkat nasional maupun daerah. Peraturan tentang perindungan saksi sebagai upaya untuk melibatkan masyarakat di dalam reformasi birokrasi, Peraturan tentang akses publik terhadap informasi yang menyangkut kebijakan negara, seperti RUU Pelayanan Publik, Administrasi Pemerintahan, Etika Penyelenggara Pemerintah (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif), Kepegawaian Negara, Tata Hubungan Pusat-Daerah, Sistem pengawasan Nasional, Badan Layanan Nirlaba, Kementerian Negara yang sudah disahkan oleh DPR-RI, Akuntabilitas Penyelenggara Pemerintah.

Untuk mewujudkan agenda-agenda Reformasi Birokrasi prinsip-prinsip (Good Goovernance):
Asas kepastian hukum (mengutamakan landasan perundang-undangan, kepatuhan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara). Asas Tertib Penyelenggaraan Negara (asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara).  

Asas Kepentingan Umum (medahulukan kesejahteraan umum daripada kepentingan individu atau kelompok dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif). Asas keterbukaan (membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara).  

Asas proporsionalitas (mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara). Asas profesionalitas (mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Asas akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Asas Efektifitas (tepat guna dan berdaya guna). Asas Efisisensi (berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik).
 
Secara umum sasaran yang ingin dicapai adalah. Berkurangnya secara nyata praktek-praktek korupsi di birokrasi dan dimulai dari tataran jajaran pejabat yang paling atas, terciptanya sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa, Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat, Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan dan perundangan diatasnya.

Saat menerapkan berbagai konsep yang dipakai dalam menciptakan reformasi birokrasi biasanya akan muncul berbagai permasalahan didalam birokrasi yang bisa dikategorikan menjadi 6 perspektif yaitu: Politik: Politisasi birokrasi, Netralitas Birokrasi, Ekonomi: In-Efisiensi , Daya Saing Lemah, Manajemen: Koordinator lemah sehingga manajemen publik menjadi tidak berkualitas, Tradisional: Hirarki (Iron Laws of Oligarchy) muncul penyalahgunaan wewenang sehingga menjadi birokratis. Sosial-Budaya: Kurangnya tanggung jawab sosial dan budaya feodal yang kuat. Kinerja : Produktivitas Rendah dan belum memiliki orientasi outcomes

Apabila ditarik benang merah sedikitnya ada tiga masalah besar dalam penataan Reformasi Birokrasi saat ini yaitu: jumlah yang terlalu besar dibandingkan dengan beban pekerjaan yang ada sehingga banyak terjadi praktek-praktek pengangguran terselubung; Rendahnya etos kerja akibat tidak tersedianya pola insentif yang memadai; Rendahnya kompetensi PNS sebagai akibat pola rekruitment yang tidak memenuhi standart meritokrasi.

Solusi alternatif: Rasionalisasi dan Kompensasi
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka alternatif untuk memberikan peningkatan gaji jelas tidak cukup, bahkan berpotensi tidak memenuhi prinsip keadilan, dimana rendahnya produktivitas sebagian PNS bukannya mendapat punishment justru mendapat reward dalam bentuk kenaikan gaji.

Pilihan yang tepat adalah menata ulang struktur PNS yang ada melalui restrukturisasi yang berisikan pilihan-pilihan dengan konsekuensi keuntungan ataupun kerugian yang akan diterima PNS yang didasarkan pada kesadaran dan kerelaan. Pelaksanaan rasionalisasi dapat dilaksanakan dengan cara menawarkan terlebih dahulu beberapa pilihan yang harus diambil oleh para PNS

Sedikitnya ada tiga pilihan untuk PNS didalam Program rasionalisasi, yaitu: (1) untuk yang masih mau melanjutkan karier sebagai PNS diharuskan mengikuti ujian kompetensi sehingga sesuai dengan aturan penempatan dan kemampuan; (2) untuk PNS yang memiliki keterbatasan ditawarkan untuk memilih pensiun dini dengan kompensasi yang ”memadai” ; apabila pilihan ini tidak diambil dan tidak lulus uji kompetensi maka PNS tersebut akan dipensiunkan dini tanpa kompensasi.

Dengan alternatif tersebut, tindakan selanjutnya adalah menerapkan sistem meritokrasi yang ditunjang dengan pola insentif dan disinsentif secara tegas dan terukur, alternatif ini sendiri akan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan belanja pegawai yang berlipat: (1) untuk membayar kompensasi PNS yang pensiun atau dipensiunkan dini; dan (2) untuk menambah kenaikan gaji PNS pasca rasionalisasi.


Strategi ”Carrot and Stick”Carrot adalah pendapatan netto untuk PNS yang mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya sehingga tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tingkat pendapatan orang yang sama dengan kualifikasi pendidikan, kemampuan dan kepemimpinan yang sama di sektor Swasta. Pemberian carrot ini dimaksudkan untuk meningkatkan konsentrasi PNS dalam menunaikan kerjanya. 

Dengan demikian, pemerintah berkewajiban untuk memberikan kompensasi yang memadai sebagai suatu carrot. Jika carrot tersebut sudah diberikan dan masih terdapat PNS yang korup, tidak produktif dan tidak efisien dalam kerjanya maka sudah sepantasnya mendapatkan hukuman (stick). Untuk menerapkan strategi carrot and stick secara optimal, maka sistem penggajian yang dipakai harus dibenahi secara bertahap sesuai dengan prinsip meritokrasi sehingga mencerminkan proporsionalitas dan prinsip keadilan.

Kenyataan tersebut sejalan dengan rumusan salah satu situasi yang paling penting dalam menciptakan rangsangan korupsi yaitu: para pejabat sektor publik mungkin mendapatkan insentif yang kecil untuk melakukan pekerjaannya secara baik dan karenannya sogokan dijadikan sebagai pendapatan bonus, dan pemerintah memberikan kemudahan keuangan maupun fasilitas yang sangat besar pada pengusaha melalui proteksi, pelelangan, privatisasi, dan pemberian konsensi. 

Kondisi tersebut bertemu dengan sebuah kenyataan lain di sektor swasta, yaitu: perusahaan swasta dan individu berupaya mengurangi biaya yang dibebankan pada mereka oleh pemerintah (pajak, bea dan cukai) dengan melakukan sogokan, dan sogokan dapat mengganti bentuk hukum seperti dalam proses bagaimana mempengaruhi kebijakan politik dan jual beli suara untuk memperoleh jabatan. Bertemulah persengkongkolan korupsi, kolusi, dan nepotisme dimana aparat birokrasi merupakan salah satu aktor penting. Jika hal tersebut terus menerus terjadi maka akan menjadi bom waktu dimana gaji yang kecil akan memicu PNS ber KKN yang menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perlunya Perbaikan Kebijakan tentang Gaji PNS Selain itu, fakta menunjukkan bahwa didalam pemerintahan banyak pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang yang memiliki produktivitas rendah. Padahal pekerjaan tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh jumlah tenaga yang jauh lebih sedikit namun memiliki kemampuan dan kualifikasi yang memadai dengan mendapat gaji yang cukup. Secara yuridis masalah penggajian diatur dalam UU No 43 Tahun 1999 Pasal 7 yaitu: (1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab; (2) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya; (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi maka hukum permintaan dan penawaran (supply and demand) akan berlaku pada PNS karena gajinya yang hanya cukup untuk dua pekan maka kewenangan yang dimilikinya akan dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan sekaligus berusaha untuk memperkaya diri dengan menjadi rent-seeker.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Reformasi Birokrasi sebagai Bagian Dari Pemberantasan Korupsi

Terkini

Close x