“Sabtu
kemarin, saya dan temen-temen pedagang yang berjualan dialun-alun (alun-alun
Jember_red) diusir sama Satpol PP, kami tidak boleh lagi berjualan di
alun-alun,” katanya, disela-sela Aksi yang dilakukan oleh Serikat Tani
Independen (Sekti) di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember,
dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Sebelum pengusiran terjadi, Nanik mengaku dari hasil
berjualan kopi kelilingnya itu ia dapat mengumpulkan Rp. 30 ribu sejak pagi
hingga tengah malam, itupun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tidaklah cukup. Kini,
Nanik tak dapat lagi mengais rejeki, padahal ia harus menghidupi Abdullah
Rohani, anak satu-satunya yang sedang sakit jiwa. Beberapa hari yang lalu
anaknya tersebut mengamuk sebab Nanik tak mampu membelikannya rokok, “kemarin
anak saya minta dibelikan rokok, dan saya tidak bisa belikan, kemudian anak
saya itu melempar batu bata,” ceritanya, sembari menunjukkan luka lebam dibetis
kanannya.
Sepertinya perempuan paruh baya ini tak kuat lagi
membendung beban hidup yang ia rasa begitu berat, air matanya perlahan-lahan
turun membasahi pipinya yang mulai keriput. Ia mulai menyandarkan punggungnya di
pagar gedung dewan, tatapannya kosong, seolah menerawang jauh kembali kesaat
pengusiran itu terjadi. Ketika itu, menurut Nanik, ia dan sesame pedagang
lainnya mengaku pasrah saat anggota satpol PP mengusir dan melarang dirinya
berjualan disekitar alun-alun.
Polisi penegak perda tersebut, lanjut Nanik, memberikan
beberapa pilihan kepada para pedagang. Diantaranya agar pedagang berjualan di
Jl. R.A Kartini, atau kalau tidak, berjualan dialun-alun diatas jam 12 malam. “Kami
disuruh berjualan di jalan kartini, pernah satu kali saya berjualan disana tapi
satupun nggak ada yang beli, pengunjung yang rame itukan di alu-alun,” akunya
sedih.
Sedangkan untuk berjualan di alun-alun, awalnya pihak
Satpol PP mengijinkan Nanik dan pedagang lainnya berjualan diatas jam 09.
Malam. Namun keesokan harinya tidak boleh lagi, pedagang disuruh berjualan
diatas jam 12 malam, “kalau jam 12 malam, terus siapa yang beli,” ujarnya.
Wanita yang tinggal di jalan Fatahillah ini tak habis
pikir, apa alasan Satpol PP mengusir dirinya berjulan. Kalau dianggap
mengganggu ketertiban umum, Ia hanya mengenakan keranjang saat berjualan, “saya
ini jualan kopi keliling, jadi tidak pakai gerobak,” katanya.
Kisah Nanik, adalah sekelumit gambaran kecil dari
kisah-kisah serupa yang dialami oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) dan asongan di
kota tembakau ini. Mereka dianggap penggaggu oleh pemerintah daerah, padahal
pekerjaan itu adalah satu-satunya penopang kehidupan mereka.
Aktifis Komite Sental Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (KS GMNI), Opik, menilai apa yang dilakukan oleh Satpol PP itu
illegal. Hal itu didasarkan dengan tidak adanya Peraturan Daerah yang mengatur
tentang penertiban asongan, “perda di jember itu hanya mengatur di jalan hayam
wuruk dan saman hudi saja, tidak ada perda yang mengatur tentang asongan, baik
itu pedagang kopi maupun yang lainnya. Apalagi Satpol PP dalam memberikan surat
itu tidak jelas, sebab tidak ada tanda tangan dari bupati,” jelasnya.(mahrus)