
Konfik ini dipicu akibat dualisme Warisan kolonial antara
Boschwet 1865 sd Ordonantie 1927 dan Agrarische Wet 1870, Kebijakan pembukaan
hutan 1942-1945 (masa pendudukan Jepang), Nasionalisasi perkebunan kolonial
1958, Konsolidasi perkebunan besar dan kehutanan tahun 1980-an dan Komoditas
pasar global terutama untuk sawit (investasi terbesar oleh perusahaan
Malaysia).
Sedangkan insitusi yang terlibat adalah dari Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Perusahaan negara : Perhutani, Inhutani, PTPN, PDP, TNI/POLRI (terhadap aset-aset TNI atau penguasaan TNI terhadap perkebunan). Demikian ungkap anggota komisi II DPR RI Arif Wibowo Rabo, (30/1) di Jakarta.
Sedangkan insitusi yang terlibat adalah dari Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Perusahaan negara : Perhutani, Inhutani, PTPN, PDP, TNI/POLRI (terhadap aset-aset TNI atau penguasaan TNI terhadap perkebunan). Demikian ungkap anggota komisi II DPR RI Arif Wibowo Rabo, (30/1) di Jakarta.
Menurut anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) IV
(Jember-Lumajang) ini bahwa konflik ini terdiri dari Konflik Struktural,
Sektorol dan konflik antar sector. Konflik struktural melibatkan institusi
negara, mencapai luasan areal yang signifikan, dan menimbulkan korban massal.
Konflik agraria sektoral di Kehutanan berada
Jawa (Perhutani) dan luar Jawa (Hutan negara terutama ex register kawasan
hutan, pemberian ijin HPH, HTI), Perkebunan: perkebunan negara (PTPN dan PDP),
perkebunan swasta aktif, perkebunan swasta terlantar, dan perkebunan illegal
(tanpa ijin) dan Pertambangan
Sementra konflik antar sektor berada di Perkebunan di kawasan hutan, Pertambangan di kawasan hutan dan Tata batas kawasan hutan dan non hutan yang tumpang tindih.
Lebih lanjut anggota Fraksi PDI
Perjuangan yang getol menyuarakan Reforma Agraria (Pembaharuan Agraria) ini dan
sering blusukan di kantong-kantong sengketa tanah ini, menjelaskan bahwa berdasarkan
data Badan Pertanahan Nasional hingga 2010 sengketa tanah mencapai 8.000 kasus.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) akhir 2011 163 kasus agraria ini
naik dari tahun 2010 yang hanya berjumlah 106 kasus. Korban tewas dari petani sebanyak 22, yang
melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga dengan Luas konflik : 472.048,44
hektar.
Adapun prosentasi tertinggi dari163 kasus di tahun 2011 tersebut ada di Perkebunan sebanyak 97 kasus atau (60%), disusul sengketa di Kehutanan 36 kasus atau (22%). Infrastruktur 21 kasus atau (13%); Pertambangan 8 kasus atau (4%) dan di Tambak/pesisir 1 kasus atau (1%).
Dengan sebaran kasus di Provinsi Jawa
Timur sebanyak 36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus,
Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus,
dan sisanya tersebar di sebagian besar provinsi lain di Indonesia.
Sedangkan
berdasarkan data dari HUMA sampai akhir tahun 2012 terdapat peningkatan kasus
yaitu 232 kasus. Di Perkebunan 119 kasus (51,29%), Kehutanan 72 kasus (31,03%),
Pertambangan 17 kasus (7,33%), Pertanahan 22 kasus (9.48%) dan di Perairan dan
kepulauan, dengan Luas areal konflik : 2.034.286 ha. (Eros)