![]() |
Pengurus Harian ITK: Arif Hidayat, |
“Kami sudah memberikan data-data yang lengkap tentang
adanya indikasi penyimpangan dalam pembangunan kilang gas Donggi Senoro,”
ungkap Ketua Dewan Pengurus Harian Institut Transparansi kebijakan (ITK) Arif
Hidayat, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (23/10) siang.
Menurut Arif, indikasi
keterlibatan istana dapat dirunut dari kebijakan saat pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK) memimpin negeri ini.
“Dimasa akhir Jabatan SBY-JK, Wapres Jusuf Kalla
bersikukuh bahwa gas Donggi Senoro harus diprioritaskan untuk kepentingan
domestik dan pembangunan kilang mengutamakan kontraktor dalam negeri dan
mempersoalkan proses pembangunan kilang oleh Mitsubishi sebesar US$ 2,1 miliar
yang tidak ditempuh melalui tender dan dianggap terlalu mahal. Apalagi ada
penawaran lain yang diajukan oleh PT LNG Energi Utama hanya US$ 500 juta,”
jelas Arif.
Bahkan dalam surat Wapres Jusuf Kalla Nomor 23/WP/7/2007
tanggal 7 Juli 2009 yang ditujukan kepada Menteri ESDM dan Dirut Pertamina,
secara tegas JK menyatakan bahwa Proyek kilang Donggi Senoro tersebut
ingin dilaksanakan dengan prosedur yang tidak memadai tanpa tender dengan harga
terlau mahal + US$ 1,6 M yang diatas harga dewasa ini bisa sekitar
US $ 1 M. “Hal tersebut sangat merugikan Negara dan Saudara akan menanggung
akibat hukumnya apabila dilaksanakan,” kutip Arif dari isi surat JK tersebut.
Bahkan JK sudah menyampaikan laporan tersebut kepada
Presiden SBY dan SBY menyetujui kebijakan yang disampaikan JK, “Hal tersebut
sudah saya laporkan kepada Bapak Presiden dan beliau menyetujui kebijakan
tersebut, sesuai laporan saya kepada Bapak Presiden terlampir untuk saudara
ketahui,” sebut Arif mengutip surat JK yang cukup keras tersebut.
Setelah terjadinya pergantian kepemimpinan nasional
dari SBY-JK ke SBY-Boediono kebijakan yang didengungkan JK berubah seratus
delapan puluh derajat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy
Saleh menetapkan bahwa alokasi Donggi-Senoro akan memasok domestik dengan
proporsi sekurang-kurangnya 25% hingga 30% dengan mempertimbangkan tekno
ekonomi proyek dan pembangunan pemenang tender diberikan kepada Mitsubishi
Corporation meskipun penawaran lebih tinggi dari peserta tender lainnya.
“Ada apa dengan kebijakan SBY- Boediono yang sangat
bertentangan dengan kebijakan JK sebelum,nya. Faktanya saat ini proyek kilang
Donggio Senoro akan menghasilkan 2 juta ton gas alam (mtpa) yang seluruhnya
akan dijual ke Jepang yakni 1. Chubu Electric Power Co., Inc. Jepang - 1 juta
ton per tahun, 2. Kyushu Electric Power Co., Inc. Jepang - 300.000 ton per
tahun, dan 3. KOGAS - 700.000 ton per tahun selama 13 tahun, sesuai dengan
kontrak selama 13 tahun dengan pengiriman perdana direncakan akhir tahun 2014.
Selain kerugian tentang
tidak adanya alokasi gas untuk Domestik, Proyek Donggi Senoro juga diindikasi
merugikan negara US$ 1584 Milyar yang bersumber dari markup pembangunan proyek
dan selisih nilai jual gas dibawah harga pasar.
“Biaya LNG Plant.
Pemilihan Mitsubishi sebagai vendor LNG plant dengan harga sebesar US$ 2,1
miliar di atas tawaran vendor lain seperti LNG Energi Utama yang menawarkan US$
1,6 miliar atau konsorsium nasional (PT Tripatra Eng, PT Rekayasa Industri dan
PT Inti Karya Persada) yang hanya sebesar US$ 1,2 miliar.
Bahkan nilai pembangunan LNG Plant hingga tahun 2013
ini mencapai US$ 2,8 miliar yang sebelumnya diajukan US$ 2,1 miliar. Selain
lebih mahal, pemilihan Mitsubishi juga memunculkan “keharusan” menjual gas ke
Jepang dengan harga US$ 6,2 MMBTU, padahal pada bulan Juli 2013 harga
jual gas cair dipasaran dunia sudah mencapai US$ 12 MMBTU,” jelas Arif.
Indikasi adanya kongkalikong dalam pembangunan Proyek
Donggi Senoro diperkuat oleh putusan KPPU Nomor: 35/KPPU-I/2010 yang menyatakan
bahwa PT Pertamina (Persero), PT Medco Energi Internasional,
Tbk Mitsubishi Corporation terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
persengkokolan bisnis.
"Putusan tersebut bisa menjadi pintu masuk KPK
untuk membongkar mafia migas dilingkungan istana," pungkas Arif. (eros)***