
Namun dua puluhan anak
masih terlihat ceria disebuah rumah kontrakan, beberapa diantaranya berlari kecil
menghampiri seorang gadis yang duduk berdampingan dengan anak lain di sudut
ruangan itu. “Silahkan masuk,” ucap Erina Frataria, sembari menenangkan
anak-anak yang sedang belajar dan mempersilahkan dua orang tamunya masuk.
Dengan cekatan ia merapikan
buku-buku yang terserak, buku anak-anak didiknya. “Ya beginilah kondisi rumah
belajar kami, suasananya memang dibuat sebebas mungkin, agar adik-adik ceria
saat belajar,” ujarnya.
Perempuan kelahiran
Banyuwangi 25 tahun silam ini, sebenarnya lebih senang menyebut adik-adik, saat
memanggil anak-anak yang belajar dirumah itu. Menurutnya, panggilan itu lebih
mendekatkan secara emosional. Baginya, mencurahkan waktu selepas kerja seharian
untuk belajar bersama adik-adik adalah kegembiraan tersendiri, “sepulang kerja,
sekitar jam empat sore, adik-adik biasanya sudah rame menunggu di teras rumah,”
ceritanya.
Erina, adalah pengelola
rumah belajar “Ceria”, ide pendiriannya cukup sederhana, “awalnya, saya
kesepian karena hidup sendiri di kontrakan, kemudian saya mengajak anak-anak
tetangga sebelah untuk bermain dirumah saya,” tuturnya. Karena banyak anak-anak
yang betah, kemudian beberapa ibu-ibu dan ketua RT setempat menyarankan agar
rumahnya dijadikan sebagai rumah belajar.
Atas saran tetangga dan
ketua RT inilah, alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Jember (Unej) tersebut memberanikan diri untuk menemani adik-adik itu belajar
dirumahnya. “Konsepnya belajar mandiri, jadi setiap anak yang belajar disini
sebenarnya belajar sendiri, baru jika tidak bisa dapat bertanya ke temennya
atau langsung bertanya ke saya,” katanya.
Sebenarnya, tak ada yang
istimewa dari rumah belajar “Ceria” ini. Seperti pada umumnya, anak-anak
belajar tentang mata pelajaran yang mereka pelajari disekolah masing-masing.
Namun, ada satu hal yang mungkin tak dimiliki oleh yang lain, yakni ketulusan
hati dalam mengabdikan diri untuk sesama manusia serta semangat kebersamaan
yang ditularkannya. “Awalnya hanya enam
anak, setelah dua tahun berjalan, saat ini tercatat ada tujuh puluh lima anak
yang ikut belajar,” paparnya.
Tidaklah mudah bagi Erina
untuk mempertahankan rumah belajarnya. Selain terbentur persoalan peribadi, masalah
financial juga menjadi salah satu kendalanya. Dara yang juga bekerja sebagai
manajer marketing pada perusahaan peternakan ini mengakui, rumah belajarnya
sempat mandeg beberapa bulan, lantaran ia berpindah tempat dari rumah kontrakannya.
Waktu itu kontrakan telah
habis, kemudian dia indekos di daerah kelurahan sempusari yang berjarak sekitar
tujuh kilo dari kontrakan sebelumnya. “Saya sempat indekos, dan masih
menyempatkan mengunjungi adik-adik disini,” terangnya, dan mengisahkan kala itu
ia sempat kecelakaan yang menyebabkannya tak dapat beraktifitas untuk beberapa
bulan.
Namun, setelah ia pulih,
hatinya kembali tergerak saat beberapa orang tua dari adik-adik didiknya itu
memintanya kembali dan menawarkan sebuah rumah kontrakan baru, “saya kembali
mengontrak rumah, kemudian menjadi tempat baru bagi rumah belajar kami,”
tuturnya. Erina tidaklah sendirian, ada empat kawannya lagi yang turut membantu
menemani adik-adik itu belajar. Tiga diantaranya masih tercatat sebagai
mahasiswa Unej. “Ada satu yang sudah ibu-ibu, namanya mbak Iva, warga sini,”
sambungnya.
Angin malam sekilas hilang
dari rumah itu, gerah tiba-tiba mendiami ruangan 2x4 meter yang dipenuhi
tempelan kertas jadwal, hasil karya anak-anak dan beberapa penanda kelas. Sejurus
kemudian, perempuan yang dijuluki wanita sejuta aksi (Watashi) oleh
kawan-kawannya itu, menghidupkan sebuah kipas angin, persis dibelakang
anak-anak yang belajar. Sejenak gerah itu hilang, berganti semilir angin kipas,
meski sebentar.
“Itu namanya Melani,
mahasiswi semester akhir, ia membantu saya sejak setahun terakhir ini,” katanya
tiba-tiba, sembari menunjuk seorang gadis yang mendampingi beberapa anak yang
sedang belajar. “Melani tinggal disini bersama saya, kalau yang lain, pulang
kerumah masing-masing,” sambungnya, menceritakan teman-temannya.
Untuk belajar disini, kata
Erina, anak-anak tidak diminta sejumlah uang. Namun biasanya, mereka membawa
uang dua ribu sekali datang, “uang itupun kembali diberikan kepada adik-adik
dalam bentuk hadiah, agar mereka lebih semangat lagi belajarnya,” ucap dia.
Belakangan ini, Erina
mulai resah dengan rumah belajarnya. Sebab, kesibukannya diluar sebagai manajer
marketing menuntutnya untuk keluar kota hingga beberapa hari. Sehingga dia
mulai berinisiatif untuk menularkan semangat itu kebeberapa sahabat karibnya,
terutama yang terjun di dunia pendidikan. “Saya akan menjaga dan merawat rumah
belajar ini semampu saya, namun saya juga menyampaikan kepada sahabat-sahabat
saya untuk menciptakan rumah belajar di desanya masing-masing. Saya katakan
kepada mereka bahwa berbagi itu membahagiakan,” paparnya.