Pantauan dilapangan, sejumlah
peserta tampak keluar meski acara baru berjalan satu jam, saat itu waktu
menunjukkan jam 11.03 Wib. Jajaran kursi yang sebelumnya padat, terlihat
lengang. Meski acara yang di buka oleh Sekda Jember, Sugiharto, awalnya
berjalan lancar. Namun kondisi tersebut berbalik 180 derajat saat acara seminar
dimulai. Peserta satu-persatu terlihat keluar ruangan tanpa ada upaya
pencegahan dari panitia penyelenggara.
Sesuai undangan yang diedarkan,
tertanggal 30 Desember 2014 yang lalu, Pengurus Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) Jember meminta kepada Kepala UPT Dinas Pendidikan yang berada
ditingkat kecamatan, untuk mendatangkan dua orang peserta untuk tiap-tiap
sekolah di wilayahnya dengan kontribusi sebesar Rp. 150 ribu per orang. Dari
keterangan salah seorang staff kantor PGRI Jember, target peserta mencapai 1000
orang.
Lazimah, salah seorang
peserta seminar mengaku, enggan mengikuti acara itu hingga selesai karena
suasananya tidak kondusif. Terlebih ia merasa tak mengeluarkan sepeser uangpun,
“saya mewakili sekolah, dan semua yang bayar adalah sekolah,” ujarnya, sembari
berlalu. Ada kabar, pengurus PGRI menggunakan lembaga kedinasan untuk menekan
sekolah-sekolah agar mengirimkan delegasi dengan sejumlah kontribusi uang yang
telah ditentukan tersebut.
Menanggapi hal itu, Ketua
PGRI Jember I Wayan Wesa Atmadja, enggan menanggapi banyak. Saat ditanya
mengenai pungutan biaya seminar tersebut, ia mengatakan agenda kali ini
berhubungan dengan momentum Hari Guru, sehingga ada biaya yang dibebankan
kepeserta, apalagi materi yang disajikan kali ini adalah ilmu yang teraktual,
“sewaktu-waktu bisa gratis,” dalihnya.
Sementara itu, seorang
pemerhati pendidikan jember, Bagus Budiantoro menilai, ada kesan eksploitasi
guru dalam seminar PGRI kali ini. Ia menduga ada muatan politis yang
terselubung. Sebab, katanya, ada indikasi kedatangan Sugiharto itu hanya
mencari dukungan para guru lewat organisasi PGRI, sebab Sekda Jember tersebut digadang-gadang
maju dalam Pilkada Jember periode mendatang. Sehingga seminar ini hanyalah
seremoni belaka, dan tak menarik minat guru untuk mengikutinya sampai paripurna,
“di background ada tulisan Sugiharto
sebagai nara sumber, tapi faktanya kok hanya ada nara sumber tunggal,” ucapnya,
saat mengikuti acara seminar tersebut.
Dijelaskannya, PGRI
sebagai organisasi guru seharusnya memberikan perlindungan terhadap para tenaga
pendidik itu, bukan malah mengeksploitasi mereka. Tak tanggung-tanggung,
alumnus Magister Pendidikan Universitas Negeri Malang ini menganggap, acara
seminar kali adalah preseden buruk yang tak boleh terulang kembali dimasa
mendatang, “selain bernuansa politis, PGRI Jember juga memungut biaya ke
peserta, padahal pesertanya juga anggota PGRI yang setiap bulannya membayar
iuran ke organisasi. Pengurus harus dapat mempertanggung jawabkan ini!,”
tegasnya.
Informasi yang dihimpun,
jumlah anggota PGRI Jember berkisar antara 11 ribu hingga 12 ribu orang. Setiap
bulan, para anggota tersebut dikenakan iuran sebesar Rp. 4 ribu yang langsung
diambil dari gaji. Jika dihitung secara kasar, dalam setiap bulan PGRI jember
setidaknya mengantongi dana antara Rp 44 juta hingga Rp 48 juta.
Dengan dana sebesar itu,
momentum seminar dengan tajuk “Hebat Gurunya, dahsyat Muridnya” yang
disampaikan oleh Dwiyono Irianto, seorang motivator metamorphosis pembelajaran,
PGRI Jember masih juga memungut biaya Rp 150 ribu setiap peserta dengan alasan
yang kurang jelas. (Ruz/Dik/FWLM).