
Padahal
pada tahun 1945, 40 %, masyarakat
masih mempercayainya,
namun beberapa tahun kemudian kepercayaan
masyarakat tinggal 21 %. “waktu itu di Amerika, masyarakat tak lagi percaya bahwa pers
itu melindungi demokrasi,”.
Demikian
disampaikan Aga Suratno, Direktur Kiss FM, dalam diskusi dengan tajuk Peran
Pers Mengawal Demokrasi dan Rapat Kerja (Raker) yang diselenggarakan oleh Forum
Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember di aula UPT Liposos, Dinas Sosial (Dinsos)
Kabupaten Jember, Sabtu (10/1).
lanjut Aga sapaan akrabnya, padahal begitu bersarnya peran pers dalam
demokrasi, fungsi pers tak cukup hanya sebagai pengamat maupun control bagi
kebijakan pemerintah, melainkan juga sebagai Voice of Voices, penyambung lidah, yang
menyuarakan jeritan rakyat serta kebenaran, “ terang wartawan senior ini.
Disamping
itu juga berfungsi membangun sebuah peradaban, “pers juga bertujuan untuk membangun civilize
(masyarakat beradab), bukan uncivilize (masyarakat tak beradab, Jadi sangat aneh jika sepakat dengan demokrasi, tapi
membuat informasi yang tidak benar, informasi
sampah, dan memperparah konflik.
Begitupun
di Indonesia paska reformasi, independensi
dan pembelaan media kepada rakyat, dan kaum marjinal mulai terusik dengan adanya komerisialisasi dan konglomerasi media. Dampaknya ada monopoli informasi, media besar hanya dikuasai segelintir
orang.
Lebih
parah lagi, beberapa pemilik media kecenderungaanya memiliki relasi dengan
pengusaha dan penguasa, bahkan ada yang akrif dalam parpol, akibatnya ada
pemaksaan kebenaran. “Jika media sudah tidak independen, maka jangan salahkan masyarakat akan mencari kebenaran dengan sendirinya,” ucapnya.
Hal
senada diamini anggota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jember, Ahmad Hanafi. Menurut
Hanafi penurunan kepercayaan masyarkat terhadap pers menurutnya karena media
terkesan tidak independen dan kurang berimbang dalam pembuatan beritanya.
“saat pesta demokrasi, pemilu legislatif dan pilpres media terkesan
kurang independen dan berimbang, meski sudah sama dalam hal durasinya, namun dalam hal tone tidak
sama, akibatnya berita
yang disampaiakan terkesan tidak netral. Akibatnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pers
semakin menurun.
Namun
bukan berarti media yang tidak jujur yang memaksakan kepentingan mereka dan bersembunyi dalam dogma otoritas kesucian ‘independensi media’ lantas dimaklumi, “media memang tidak bebas nilai,
sehingga jurnalis menjadi wajib hukumnya untuk memihak kepada kebenaran, kaum
marginal dan terpinggirkan,” katanya, sembari menegaskan independensi jurnalis lah yang menjadi
kata kuncinya.
Sementara
Sigit Edi Marianto, ketua PWI Jember, yang
juga didapuk untuk menjadi nara sumber melontarkan pernyataan lebih keras lagi,
bahwa peran pers saat ini sudah banyak yang melenceng dari fungsinya, “jangan sampai media atau atau wartawan menjadi provokator yang dilegalkan? Sebab tidak jarang
pemberitaan yang muncul ditunggangi oleh kepentingan oknum-oknum yang mencari
untung,” ujar Sigit.
Sementara
Ketua Forum Wartaan Lintas Media (FWLM) Jember menyampaikan bahwa “, pers harus
mampu mendorong arah demokrasi kita menjadi demokrasi subtansial. FWLM Jember
siap menjadi motor penggeraknya,” terangnya. (Ruz/eros).