
Di kawasan gunung dan hutan pangkuan Perhutani
Jember, di Kecamatan Wuluhan. tampak Laki-laki tua ini membawa dua kantong,
sebuah kantong bekas pupuk dia panggul di punggung, sementara karung plastik
berukuran besar, disandarkannya ke pohon jati yang kokoh berdiri.
Pria itu, terus memunguti
apa saja yang dinilainya masih laku dijual. Botol sisa minuman penambang, juga
peralatan masak yang sengaja ditinggal. Namun, Sumiran harus berhati-hati saat
memunguti sampah-sampah itu. Karena jika tidak, bisa jadi dia terperosok
kedalam lubang bekas galian.
Kalau demikian, nyawanya menjadi
taruhan. Sebab, ribuan lubang galian tambang dibiarkan terbuka oleh pencari
emas tanpa izin itu, dalamnya bisa mencapai 50 meter. “Saya seminggu sekali
atau dua kali naik, biasanya saya mendapatkan sampah antara 15 sampai 20 kilo
(Kg),” ujar Sumiran. Sabtu (19/12)
Siang itu, dia hanya
mengenakan sandal jepit tua, sandal jepit inilah yang setia menemani bapak enam
anak tersebut menaklukan terjalnya medan berbatu. Jangankan untuk pria seusia
dia, lelaki berumur separuh darinya pun, belum tentu mampu menyusuri lereng-lereng
gunung itu secepat dirinya.
Apalagi, demi sampah yang hanya
dihargai oleh pengepul 1.000 rupiah per kilogram. “Alhamdulillah, hasilnya bisa
untuk menambah kebutuhan hidup sehari-hari. saya kadang hanya dapat 15 ribu
rupiah, kalau pas lagi mujur bisa dapat sekitar 20 ribu rupiah,” katanya.
Sebagai penghalau panas dan hujan, warga Wuluhan ini,
menggunakan capingnya. Yang penting baginya, langkahnya tak terhalang terik
mentari maupun hujan. “Sebenarnya, mengumpulkan sampah di gunung ini cepat. yang
lama itu, naik sama turun dari gunung,” tuturnya.
Terbukti, hanya dalam
waktu tidak terlalu lama, sekitar 2 jam, karung yang lebih besar dari ukuran
tubuhnya itu telah penuh dengan sampah plastik. Atasnya telah ia ikat dengan
tali. “Tidak usah dibantu (mengangkat) mas. Saya masih kuat kok,” ucapnya, yang
kemudian berlalu pergi. (ruz)