Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com.Ketua DPRD Jawa Timur, Abdul Halim Iskandar, heran
dengan kondisi di Lingkungan Mojan, Kelurahan Bintoro, Patrang. Pasalnya di
kawasan
terisolir ini tidak ada fasilitas sekolah sama
sekali.
Meski secara administratif berada di kecamatan
kota, hanya berjarak sekitar 10 kilometer, 70 anak usia
sekolah, tak tersentuh pendidikan formal.Jarak terdekat sekolah dasar sekitar 3
kilometer, itupun dengan akses jalan yang cukup sulit dilalui, terlebih saat
musim hujan.
Satu-satunya
lembaga pendidikan yang menjadi tumpuan merekaadalah Pondok Pesantren
An-Nibros.Beruntung sejak 2011 lalu, beberapa relawan dari Yayasan Prakarsa
Swadaya Masyarakat (YPSM) Jember, mendampingi anak-anak di Mojan belajar baca
tulis huruf latin, sebagaimana layaknya pendidikan formal di pesantren
tersebut.
Ketika perjalanan rombongan Para legislator
Partai Kebangkitan Bangsa, kondisi jalan ke arah Lingkungan Mojan, Kelurahan Bintoro,
Kecamatan Patrang, masih basah. Sisa hujan yang mengguyur kawasan itu, sore
sebelumnya, terlihat menggenangi kubangan aspal yang tak lagi berbentuk jalan.
Batu
hitam seukuran kepala bocah, terlihat di kanan kiri bangunan jalan.Sesekali
kendaraan roda empat yang melaju, harus berhenti.Sang sopir kudu waspada, sebab
kalau lengah sedikit saja, roda mobil bisa terposok dan terjebak di kubangan
jalan tersebut.
Malam
itu, ada empat kendaraan yang melaju beriringan. Paling depan adalah rombongan
pendamping dari Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM), sebuah lembaga yang
konsen mendampingi anak-anak Mojan untuk belajar baca tulis dan hitung huruf
latin.
Disusul
kemudian, kendaraan dinas anggota DPRD Jawa Timur, Miftahul Ulum, disambung
mobil Ketua DPRD Jawa Timur, Abdul Halim Iskandar beserta Ketua FKB DPRD Jawa
Timur, Badrut Tamam, paling bontot mobil Wakil Ketua DPRD Jember, Ayub Junaidi.
Di
tengah perjalanan, kendaraan yang ditumpangi Pak Halim, sapaan Abdul Halim
Iskandar, terperosok. Sehingga dirinya harus berganti kendaraan, menumpang di
mobil dinas Cak Ulum. Sekitar setengah jam bergelut jalanan aspal penuh
kubangan itu, rombongan berhenti untuk menunaikan ibadahdi musholla.
Musholla
ini masih berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi.Rombongan pun melanjutkan
perjalanan, baru sekitar 1,5 kilometer rombongan kembali menghentikan
kendaraan. Kali ini, mobil tak bisa masuk.Mereka pun harus jalan kaki, melalui
jalanan yang menanjak dan berlumpur.
Dua
puluh menit kemudian, sampailah di sebuah lingkungan pesantren dengan fasilitas
sederhana.Gubuk gedhek (anyaman bambu) menjadi arsitektur utama rumah
pemondokan para santri itu.Hanya sebuah surau yang terlihat paling megah
diantaranya bangunan lainnya.
Ketika sampai, kemudian Pak Halim, bersama Ketua Fraksi
Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Jawa Timur, Badrut Tamam, anggota FKB DPRD Jawa
Timur, Miftahul Ulum, dan Wakil Ketua DPRD Jember, Ayub Junaidi, mengajak
dialog pengurus pesantren serta sejumlah relawan dari Yayasan Prakarsa Swadaya
Masyarakat (YPSM).
“Anak-anak
disini awalnya tak mengenal upacara bendera. Pertama kali melakukan upacara
pada 2013 lalu, saat memperingati hari pahlawan, kala itu, masih didampingi relawan,
sehingga ada yang mengarahkan tatacara upacara
bendera,” kata Uswatun Hasanah, relawan YPSM, mengawali
pembicaraan Rabu malam(10/2).
Namun ketika upacara berikutnya, anak-anak brinisiatif sendiri,
namun mereka masih belum mengerit bahwa benderanya terbalik.“Pas kami datang, loh benderanya kok
terbalik, yang putih di atas dan merahnya di bawah.Dan bendera itu telah
terpasang tiga hari,” kenang Uswatun.
Anak-anak
pun dikumpulkan untuk diberi pemahaman, agar posisi bendera tersebut segera
dibenahi.Tetapi, jawaban anak-anak cukup mengejukan bagi Uswatun. “Kata
anak-anak, apa bedanya merah-putih dengan putih-merah, kan sama saja,” tutur
dia, menirukan ucapan anak-anak kepada dirinya.
Pak
Halim tersenyum, Badrut Tamam manggut-manggut.Sementara Cak Ulum dan Cak Ayub,
merapikan duduknya, mendengarkan cerita relawan tersebut.Pengasuh Ponpes
An-Nibros, Ustad Iskandar, yang semula duduk di dekat pintu, diminta mendekat
ke Pak Halim.
Dia
kemudian menceritakan, kondisi pesantren yang dipimpinnya.“Sementara
pendidikannya masih diniyah (keagamaan), untuk pendidikan formalnya masih paket
(kejar paket),” terangnya.“Kok bisa ya kelurahan kondisinya seperti ini,
kalau pedesaan wajar,” kata Pak Halim manggut-manggut
Sebenarnya,
sejak 2015 lalu, pihaknya telah mengajukan izin. Namun izin itu terhambat
dengan persyaratan dinas, yang mengharuskan tersedianya 3 ruang kelas untuk
siswa.“Sebenarnya saya sempat protes dan tidak sepakat, sekolah kok dibatasi
ruang kelas,” timpal Pak Halim, mengomentari penjelasan Ustad Iskandar.
Direktur
YPSM, Rizki Nurhaini, menyebut, memang izin penyelenggaraan pendidikan formal
belum diperoleh dari dinas. Tapi, para santri di An-Nibros telah diklasifikasi,
sejak PAUD hingga kelas 1 SMP.“Sebenarnya, jika tersedia pendidikan
formal.Masyarakat disini akan menyekolahkan anaknya,” ujar Kiki.
Sejenak
Pak Halim
terdiam, kemudian meminta kepada Cak Ayub untuk mengakomodir kebutuhan
masyarakat Mojan.“Mengenai tiga ruang kelas, biar nanti kita upayakan untuk
dianggarkan dalam PAK.Agar persyaratan awalnya dalam mendapatkan izin
operasional terpenuhi,” janjinya, yang diikuti anggukan Cak Ayub.
“Secara
umum banyak wilayah di Jawa Timur yang seperti ini, sehingga pemerintah harus
lebih fokus lagi dalam memikirkan kelompok marjinal karena sulitnya akses,” sambung
Pak Halim, saat diwawancarai sejumlah wartawan.
Selain
faktor pendidikan, administrasi kependudukan, layanan kesehatan dan sosial,
juga menjadi kendala “Jika Jawa Timur ini ibarat puzzle, ada titik-titik yang
masih bolong, sehingga harus ada kebijakan makro untuk menata ulang.Dan harus
dituntaskan sampai ke cantolan hukumnya, serta penempatan nomenklaturnya,” tambahnya.
Menurut
dia, selama ini seringkali kebijakan yang dibuat tidak nyambung dengan fakta di
lapangan.Dinas pelaksana, juga terkesan jalan sendiri-sendiri dalam
melaksanakan program kerjanya, tak ada sinergitas yang dibangun untuk menangani
persoalan, utamanya kelompok masyarakat marjinal.
Sinergitas
antar instansi, kata Pak Halim, selama ini belum berjalan secara
simultan.Sehingga persoalan kemasyarakatan seperti di Mojan ini, belum
tertangani dengan baik.“Infrastruktur memang kerap menjadi kendala, terutama
akses jalan.Sehingga perlu ada kebijakan makro, agar persoalan warga marjinal
bisa terselesaikan,” paparnya.
Kendati
demikian, tak bisa serta merta persoalan sosial tersebut dapat terselesaikan
secara instan, harus ada keterlibatan masyakarat.“Kuncinya gotong royong,
seperti makna holopis kuntul baris, sebuah mantra yang memiliki makna filosofis
supaya menumbuhkan soliditas warga,” paparnya.
Sebelum mengakhiri kunjungannya dan membagian buku serta alat tulis kepada
anak-anak Halim meminta
pemerintah turun tangan “Kedepan,
pemerintah harus lebih fokus lagi dalam memikirkan kelompok marjinal, karena
akses yang sulit. Serta optimalisasi sinergitas antar instansi, utamanya dinas
pendidikan, sosial, kependudukan dan kesehatan,”.pungkasnya
Sesaat
kemudian, anak-anak telah berjajar di depan gubuk angkring, tempat legislator
itu berdialog. Mereka berjajar terpisah, santri putra di sebelah kiri, putri
sebelah kanan.Mereka menunggu pembagian paket buku dan alat tulis oleh Pak
Halim.Muhammad Ahyar mengaku senang setelah menerima buku itu. Dia mendapat
buku gambar, pensil, serta sekotak susu cair. “Saya bisa menggambar motor dan
mobil,” katanya.
Bocah
kelas 5 sekolah paket ini, mengaku telah lancar membaca dan menulis latin. Selama
ini dia bersekolah menggunakan gedung pesantren, yang juga terbuat dari gedhek.“Kalau
besar saya bercita-cita jadi pembawak (vokalis grup salawat).Dan saya juga
kepingin melanjutkan ke SMP,” tuturnya.
Malam
kian larut, para santri kembali ke pemondokan.Sebelum pamit, pengurus pesantren
berfoto
bersamadi gubuk angkringan seperti aula ukuran 4x6 meter.Tak seperti
malam-malam sebelumnya, kehadiran politisi ini, memberikan
harapan baru bagi santri dan warga, meski masih
sekedar janji. (Ruz)