
Diantaranya komunitas Doodle Art, Pena Hitam dan Mahasiswa Pecinta
Alam Universitas PGRI Banyuwangi (Mapala Uniba). Mereka merupakan anak-anak
muda Banyuwangi penyuka mural. Mural adalah cara menggambar atau melukis di
atas media dinding, tembok atau permukaan luas lainnya.
Secara bersama-sama dan swadaya,
mulai 5 hingga 20 Maret 2017 mendatang,
mereka mengecat dinding-dinding rumah warga dengan lukisan mural. Anggota
MAPALA Uniba, L. Andri Saputro (22) adalah satu di antara pelukis mural yang tampak asyik mencorat-coret dinding
rumah salah seorang warga.
“Di Pulau ini ada 80 Kepala Keluarga (KK). Jadi saya dan
teman-teman, dibantu warga sekitar, berinisiatif memperindah wajah sekitar pantai dengan
lukisan mural ini,” ujar Andri yang tak hanya menggambar mural, tapi juga melakukan
pendampingan terhadap pemuda yang ingin menuangkan kreatifitas muralnya.
Untuk menghindari agar para pemural tak sekedar menghasilkan
gambar yang tak bermakna, Andri dan kawan-kawannya menetapkan tema lingkungan. “Mereka
bebas berekspresi, namun gambar yang dibuat harus bersifat inovatif dan
edukatif tentang lingkungan. Bisa tentang mangrove, konservasi, biota laut,
kehidupan nelayan, maritim bahkan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI),” beber mahasiswa Fakultas Olahraga dan Kesehatan Uniba angkatan 2012
ini.
Andri dan kawan-kawannya tidak punya target tertentu soal
banyaknya dinding yang dilukis per harinya. “Kami sih slow saja, karena melukis
mural itu soal hati, bagaimana kita bisa berkreasi dan berekspresi. Tapi kami
upayakan hingga tanggal 20 Maret nanti, seluruh dinding warga telah kami lukis
mural seluruhnya. Harapannya sih tempat ini bisa jadi kampung mural percontohan
di Banyuwangi,” kata Andri.
Sejak tanggal 5 Maret hingga hari ini, Selasa (7/3), total rumah
yang mereka gambari dindingnya sebanyak 5 rumah. Yang mereka dahulukan adalah
rumah-rumah yang dindingnya menghadap ke arah jalan. Tak hanya dinding tembok
saja, Andri CS juga menggambari dinding yang berasal dari anyaman bambu. “Ini
tantangan buat kami. Menggambar di media apa saja bisa,” tukasnya.
Menariknya, Andri dan kawan-kawannya dengan sukarela patungan
untuk membeli cat yang digunakan untuk melukis. Cat yang mereka gunakan adalah
cat tembok. “Kami patungan semampunya. Sebagian ada swadaya warga, sumbangan
dari donatur, dan gerakan Rp 1000 dari pelajar sekitar Pulau Santen yang
menyumbang setiap harinya. Pokoknya ini jadi ajang kreasi sekaligus silaturahmi
bagi kami,” beber Andri.
Pemural lainnya dari Komunitas Doodle Art, Achmad Rizky Fauzi (20)
mengaku sangat senang terlibat dalam kegiatan ini. "Melukis mural itu
hobby kami yang sudah mendarah daging. Apalagi kalau diberi ruang seperti ini,
ya tambah semangat lagi," ujar Rizky. Rizky adalah pemural dengan kondisi
tangan yang disabilitas, tetapi tak berhenti berkarya. Karya-karyanya bisa
dinikmati di beberapa cafe kopi dan rumah makan yang ada di Banyuwangi.
Beberapa warga juga tak kalah antusias saat Andri dan komunitas
pemural menggoreskan kuasnya di setiap dinding rumah. Warga sekitar juga
didampingi dan dibebaskan menggambari dinding sesuai tema yang ditetapkan.
“Saya senang diajari sama mas-masnya menggambar mural. Biar dindingnya bagus
dan menarik untuk dilihat,” ujar salah seorang warga yang turut belajar
menggambar mural.
Seperti diketahui, Pulau Santen ini dikembangkan sebagai destinasi berkonsep
halal. Konsep ini dikembangkan sebagai diferensiasi Banyuwangi terhadap daerah
lain. Sekaligus menjadi cara untuk membidik pasar kelas menengah
muslim yang terus tumbuh, baik di dalam maupun luar negeri.
Saat melaunching Pulau Santen sebagai destinasi wisata halal,
Kamis (2/3) lalu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menegaskan konsep halal
tourism tidak serta-merta destinasi itu hanya untuk kaum muslim. Halal tourism
merupakan konsep besar pengembangan destinasi, yang di antaranya ditandai
dengan jaminan makanan halal, tidak menjajakan alkohol, pemberitahuan waktu
jelang beribadah (adzan), tempat bersuci lengkap dengan fasilitas tempat
ibadah, serta fasilitas berkonsep pemisahan antara laki-laki dan perempuan.
"Sekali lagi, ini bukan soal SARA, tapi bicara soal
segmentasi pasar, bicara strategi pemasaran. Destinasi ini bukan hanya untuk
muslim, tapi juga semua umat. Hanya konsep dan koridornya yang berhaluan halal
tourism, tapi pengunjungnya siapapun boleh menikmati. Semuanya kita lakukan
bertahap seiring dengan penataan yang akan terus berjalan,” tandas Anas.
Pulau Santen sendiri merupakan pulau kecil di Kelurahan
Karangrejo, tak jauh dari pusat kota Banyuwangi. Saat ini, pulau tersebut terus
ditata secara berkelanjutan oleh berbagai elemen, mulai dari masyarakat, tokoh
agama dan masyarakat, TNI, hingga Pemkab Banyuwangi. (Hms/him)