
Bahkan Sumber, di Kecamatan Silo,
Kabupaten Jember Jawa Timur itu konon menjadi tempat favorit dan persinggahan,
Layang Seto dan Layang Kumitir, dua anak Patih patih Logender, Patih Kerajaan
Majapahit kala dipimpin Ratu Kencono Wungu.
Untuk mengenang legenda itu
para pemuda setempat, ingin menjadikan tempat itu sebagai pesona wisata alam andalan.
“Ada dua mata air yang akan kami dikembangkan sebagai destinasi wisata.” Demikian ungkap Ketua Gerakan Pemuda Sidomulyo
(GPS), Kamiludin, Minggu (14/5).
Kolbuk’, sebuah sumber air
yang muncul alami di area hutan. Untuk
mencapai mata air di lokasi kaki Gunung Gumitir, Desa ujung timur Jember yang berbatasan
kabupatem Banyuwangi ini, pengunjung akan disuguhi pemandangan hutan pinus,
sungai alam berair bening, serta suasana sejuk khas pedesaan.
Dari pusat kota Jember berjarak,
sekitar 40 kilometer, cocok bagi yang suka tantangan, pasalnya akses menuju lokasi
tersebut masih alami. Karena letak mata air ada di kawasan hutan mini, dengan
kontur berbukit seluas 4,5 hektare. Satu-satunya akses jalan, adalah jalan
tanah yang hanya bisa dilewati motor atau jalan kaki.
Di kanan dan kiri jalan
setapak itu, hidup tanaman kopi yang tumbuh di bawah pohon mahoni berukuran
jumbo. “Sebenarnya banyak potensi yang bisa dikembangkan disini, seperti kopi
robusta, susu kambing etawa, dan wisata alam, namun akan kita mulai dari wisata
Kolbuk ini”. Jelasnya.
Menurut Kepala Desa
Sidomulyo, Toha, sumber air alam itu ada sejak zaman kerajaan. Berdasarkan
legenda yang hidup di desanya, kolbuk ini pernah menjadi persinggahan Layang
Seto dan Layang Kumitir, dua anak Logender, seorang Patih Kerajaan Majapahit
kala dipimpin Ratu Kencono Wungu.
Dua pemuda sakti ini, konon
sempat mandi di mata air itu, hingga saat ini warga menjaga kelestarianya. “Sejak
dulu, area kolbuk tak pernah ada kayu yang ditebang. Sebab, wargalah yang
menjaganya. Andai ada satu saja kayu yang hilang, warga pasti tahu dan akan
mencari siapa pelakunya,” tutur Toha.
Hal ini, merupakan
kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. Sebab, selain ada legenda yang melekat,
dua sumber tak pernah berhenti itu juga tempat mandi dan sumber air minum, sekaligus
mengairi sawah. Apalagi, ketika kemarau, saat sumur-sumur mulai mengering,
mereka mengandalkan kolbuk menjadi sumber air.
Untuk mengelola satu dari
dua sumber, pada 1960-an, warga membangun bendungan mini berbentuk kolam berukuran
sekitar 7 x 4 meter dengan kedalaman 50 centimeter, diberi tujuh lubang yang
memacarkan air ke bawah, sehingga air yang tak pernah berhenti itu terus
mengalir dari lubang-lubang itu.
Sumber lain berjarak 4
meter dari kolam itu, keluar dari perut bumi, lantaran airnya terus mengalir deras,
memancar hingga membentuk gelembung-gelembung kecil, warga yang mayoritas
berpenduduk madura menyebutnya buk-kolbuk
(gelembung-gelembung air). Dalam istilah Jawa, kolbuk juga berarti Sendang.
“Kawasan ini seluas 4,5
hektar, dan merupakan lahan yang menjadi aset desa. Kami tentu sangat mendukung
yang dilakukan para pemuda. Dan rencananya, potensi wisata ini akan kami
jadikan Bumdes (Badan Usaha Milik Desa), sebagai payung hukum mengelola potensi
wisata tersebut,” kata Toha.
Dalam deklarasi yang
digelar Sabtu (13/5) lalu, menghadirkan Anggota DPR RI, Ayub Khan. Politisi
Partai Demokrat ini siap mendukung gerakan mengembangkan potensi wisata desa.
Menurut Kamiludin, membangun jejaring perlu dilakukan, sebab mereka tak mungkin
berbuat sendiri.
“Saya sudah melihat
langsung bagaimana potensi desa dan pemudanya. Tentu saya sangat mengapresiasi
dan akan mendukung dengan jalan membangun sinergi dengan DPR RI, pemerintah
daerah maupun Kementerian, saya akan mengawali dengan melakukan sinergi melalui
komisi saya.,” ujar Ayub Khan.
Saat ini politisi
kelahiran Jember tersebut menjabat di Komisi IX yang menjadi mitra kerja Kementerian
Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, BKKBN, BPOM, Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja, BPJS Kesehatan, serta BPJS Ketenagakerjaan.