
Penolakan bertajuk “Festival
Solidaritas Stop Tambang Emas Tumpang Pitu” digelar 28 organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa di
depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Wisma Raga Satria Banyuwangi, yang
diselenggarakan sejak Jumat sore hingga malam (8/9) hari.
Festival ini diekspresikan
dengan bermusik, berpuisi, teatrikal, berdoa dan shalat magrib berjamaah. Aksi
tersebut sebagai bentuk keprihatinan bersama atas kriminalisasi yang terus
menimpa pejuang lingkungan hidup disekitar Gunung Tumpang Pitu, pesisir
selatan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
Ke-28 aktivis tersebut
yaitu, FOR Banyuwangi, WALHI Jawa Timur, FK3I Jatim, BPAN Osing, KontraS
Surabaya, BaFFEL, GMNI banyuwangi, Konsorsium Pembaruan Agraria Jatim,
Protection International, Kelas Satra Komunal, Home Brengsex, Seruni Akar,
Layar Kemisan dan BEM Untag Banyuwangi.
Kemudaian, Banyuwangi
Beach Clean Up, ForkoMM, Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
(FNKSDA), PMII Banyuwangi, Klub Indoneaia Hijau, Ganjapala, UKM Musik Untag,
MAHAPLUS, teater Bhineka 45, Karang Taruna Sebanusa Gambor, Banyuwangi Kita,
Sudut Mahasiswa dan Mapaba.
Kriminalisasi berlangsung dua
tahun terakhir. Sedikitnya ada lima kasus yang menimpa 14 warga dan seorang
pengacara. Mereka selama ini aktif berjuang menolak tambang emas yang mengancam
ruang hidup dan keselamatan penduduk di Banyuwangi khususnya, dan Pulau Jawa
pada umumnya.
"Kriminalisasi jadi
alat represi baru sejak tambang beroperasi. Mulai PT Indo Multi Niaga (IMN) 2007-2012,
kemudian digantikan dua anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold, PT bumi
Suksesindo di blok Gunung Tumpang Pitu dan PT Damai Suksesindo di blok Gunung
Salakan," Seru Muhammad Ustman.
Padahal, Gunung Tumpang
Pitu dan Gunung Salakan merupakan kawasan penting bagi 48 ribu jiwa penduduk di
lima desa untuk berlindung dari bencana tsunami. “Tumpang Pitu menjadi pusat
mata air yang dibutuhkan untuk konsumsi dan pertanian warga”. Jelasnya.
Selain itu, menurutnya
bahwa warga sekitar juga menjadikan gunung setinggi 450 mdpl tersebut sebagai
sumber pangan. “Akan tetapi, sejak pemerintah menyerahkan gunung ini kepada
korporasi tambang, warga tidak lagi bisa mengakses Tumpang Pitu”. Keluhnya.
Demi memuluskan tambang, Kementrian Kehutanan atas usulan Bupati
Banyuwangi menurunkan status hutan lindung seluas 1.942 ha berdasarkan SK nomor
826/Menhut/II/2013. Hilangnya hutan lindung berarti ancaman atas sumber air, pangan
dan memperburuk pemanasan global yang menyebabkan becana alam di Indonesia.
Dampak hilangnya hutan ini
adalah banjir lumpur yang mencemari Pantai Pulau Merah dan lahan pertanian pada
Agustus 2016 lalu. “Banjir lumpur menyebabkan beberapa jenis ikan sulit ditemui,
sehingga nelayan harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk menangkap dengan
jarak lebih jauh," beber Ustman.
Padahal, mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia
yang dijamin oleh konstitusi. Bahkan secara khusus tertuang dalam UU 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Atas dasar ini,
masyarakat sekitar Tumpang Pitu memiliki hak untuk keberatan terhadap rencana
usaha/kegiatan yang diperkirakan memiliki dampak terhadap lingkungan hidup. “Dalam
pasal 66 UU tersebut, bahwa pejuang lingkungan tidak bisa dikenai hukum.
“Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat
dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”," lontar Ustman yang
juga ketua PMII Komisariat Untag 17 Agustus 1945 Banyuwangi ini.
Untuk itu, mereka mendesak
kepada Presiden RI, Gubernur Jatim dan Bupati Banyuwangi agar mencabut seluruh
perijinan yang telah diberikan kepada perusahaan tambang yang beroperasi di
Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan.
"Kami juga minta
kepada aparat penegak hukum supaya menghentikan kriminalisasi kepada pejuang
lingkungan hidup dan mematuhi isi UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup," seru Ustman yang didampingi Andre L Saputra
'Tole' aktivis dari Mapaba.