Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Lantaran kecewa, puluhan sopir truk menggelar
aksi protes, memblokade jalan menuju di kawasan penambangan batu kapur di Desa Grenden
Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.
Menurut Kepala Disperindag Anas Ma’ruf, saat ini perizinan
tambang batu kapur diambilalih provinsi. Pemkab hanya diberi wewenang merekomendasi,
tetapi berada di DPM PTSP, bukan Disperindag. Hingga berita ini dipublikasi masih
belum mendapatkan keterangan dari DPM PTSP Syafi’i. (eros).
Tampak Mereka memarkirkan
kendaraan angkutan berat itu di akses masuk area pertambangan batu kapur di
kaki Gunung Sadeng Dusun Kapuran, Desa Grenden, Mereka juga membentangkan
poster berbahan kertas yang bertuliskan sejumlah tuntutan. Akibatnya aktivitas
pengangkutan penambangan sempat tersendat.
Mereka kecewa, lantaran sejak
sebulan terkahir tidak bisa bekerja, pasalnya ladang rezekinya hilang, akibat
dua perusahaan berhenti operasi. Padahal perusahaan ini menjadi tempatnya mengambil
batu untuk disetorkan ke pengrajin maupun pengolahan batu gamping, serta pengolah
pakan ternak.
“Awalnya kami ingin melakukan
demo untuk menyampaikan asporasi ini ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember pada
awal pekan ini. Tapi niat itu kami urungkan,” Demikian diungkapkan oleh Basjari Susilo Utomo, koordinator sopir truk,
usai menggelar aksi, Rabu (9/1/2019) .
Menurut Uut, perusahaan ini mulai berhenti beroperasi sejak
9 Desember lalu. Sementara, perpanjangan izin yang diajukan 3 bulan lalu, belum
jelas jluntrungannya. “Kabarnya izin itu sudah diproses pemprov, tinggal
menunggu rekom Pemkab Jember. Tapi sampai sekarang belum keluar juga,”
ungkapnya.
Kini, praktis para sopir
hanya mengandalkan penambang tradisional, padahal Jumlah armadanya hampir 100
unit truk. Sehingga hasilnya juga tidak bisa maksimal. “Rata-rata tiap armada ada empat orang yang
bekerja. Artinya, ada 400 orang yang terancam tak dapat menafkahi keluarga,”
katanya.
Padahal sebelumnya para
sopir bisa mengangkut empat rit setiap hari. Namun kini hanya satu rit. Itupun
tidak saban hari. Terkadang dua hari sekali baru mendapatkan jatah batu kapur.
Kondisi ini, tentu membuat mereka kelimpungan. “Karena kebutuhan dapur tak bisa
ditunda lagi. Karena memang urusan perut,” ucapnya.
Saat perusahaan masih
beroperasi, para sopir dan kuli angkut batu bisa mengantongi uang Rp 100 ribu
per hari. Namun kini, masing-masing hanya mendapatkan Rp 25 ribu saja per hari.
“Untuk itu, kami meminta Pemkab memperhatikan kondisi ini. Agar kami bisa
kembali bekerja secara normal,” pintanya.