Orientasi Pengelolaan Hutan, Untuk
Mengeruk Keuntungan
Mengenai hutan di Jawa dan Madura kemudian diatur secara lebih khusus dengan Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Reglemen Hutan 1865 meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya.
Tonggak penting kehutanan kolonial di Indonesia adalah ketika Reglemen Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura atau selanjutnya disebut Ordonantie 1927. Boschordonantie ini mengatur pengelolaan hutan di Indonesia yang isinya dianggap lengkap sehingga diperlakukan seperti undang-undang.
Di luar Jawa, pada tahun 1913, pengelolaan hutan terpecah ke tangan jawatan Kehutanan, Pamongpraja, pemerintah swapraja, masyarakat adat, dan swasta. Di Sumatera Selatan, masyarakat menolak pemberlakuan domein verklaring dan meminta pemberlakuan khusus di Semanggus, Muara Enim. Pada 1914 konsesi-konsesi hutan di Kalimantan Timur marak.
Masa kemerdekaan.
Pendek
kata, kawasan kehutanan dan pengelolaannya merupakan replikasi atau
rekonstruksi atas penguasaaan kawasan kehutanan masa kolonial berikut cara
pengelolaannya. HPH dan HTI adalah warisan dari hak-hak pengusahaan yang
diberikan oleh pemerintahan swapradja, sementara secara khusus untuk hutan Jawa
juga warisan klaim teritorial kolonial (domain verklaring). (Oleh
Arif Wibowo: Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan)
![]() |
Arif Wibowo: Anggota Komisi II DPR RI |
Jakarta, MAJALAH-GEMPUR.Com. Konflik hutan terjadi sejak masa kolonial,
ketika VOC tertarik dengan hutan jati di Jawa. Karena hasilnya sangat menggiurkan,
kemudian menyebabkan eksploitasi yang panjang terhadap sektor kehutanan.
Plakat
tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur
Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai ke Ujung Timur (Banyuwangi), menegaskan bahwa
semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik
(domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Ini adalah konsep
domain verklaring, pernyataan penguasa mengenai kekuasaan atas suatu wilayah
tertentu.
Awal Berlakunya hukum kehutanan kolonial
di Indonesia
Namun
awal pemberlakuan hukum kehutanan kolonial di Indonesia, sesungguhnya dimulai
sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali
Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865 atau disebut juga Boschwet, di
dalamnya memuat pembentukan dienst v/h Boswezen atau disebut juga Jawatan
Kehutanan.
Mengenai hutan di Jawa dan Madura kemudian diatur secara lebih khusus dengan Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Reglemen Hutan 1865 meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya.
Selanjutnya
Reglemen ini diganti dengan Reglemen 1874 tentang Pemangkuan Hutan dan
Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura, diundangkan pada tanggal 14 April 1874.
Reglemen hutan 1874 diubah lagi dengan Reglemen 26 pada Mei 1882 dan Reglemen
21 Nopember 1894, kemudian diganti lagi dengan reglemen tanggal 9 Februari 1897
yaitu tentang Pengelolaan Hutan-hutan Negara di Jawa dan Madura 1897.
Gubernur
Jenderal mengeluarkan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 21 tanggal 9 Februari
1897 sekaligus menetapkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Reglemen untuk
Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura (Dienstreglement) yang berisi
ketentuan-ketentuan tentang organisasi Jawatan Kehutanan dan ketentuan
pelaksanaan Boschreglemen.
Reglemen
ini berlaku selama 16 tahun dan kemudian diganti dengan Reglemen untuk
Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1914. Di Jawa hadir Jati Bedrift (perusahaan Jati) di Jateng
dan Jatim dengan karyawan yang berasal dari Jawatan Kehutanan.
Tonggak penting kehutanan kolonial di Indonesia adalah ketika Reglemen Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura atau selanjutnya disebut Ordonantie 1927. Boschordonantie ini mengatur pengelolaan hutan di Indonesia yang isinya dianggap lengkap sehingga diperlakukan seperti undang-undang.
Peraturan
pelaksana dari Ordonansi Hutan 1927 ini adalah Reglemen voor de Dienst van het
Boshwezen voor Java en Madoera yang disingkat dengan Boschdienstreglement voor
Java en Madoera, diganti dengan Bepalingen met Betrekking tot s’land
Boschbeheer op Java en Madoera (Ketentuan tentang Pengelolaan Hutan Negara di
Jawa dan Madura) disingkat dengan Boschverordening voor Java en Madoera 1932.
Peraturan
ini kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1935, 1937, dan 1939. Latar belakang
singkat tentang regulasi hutan oleh kolonial ini penting disampaikan sebab
hingga kini penguasaan negara terhadap hutan terutama di Jawa direkonstruksi berdasar
ketentuan-ketentuan tersebut.
Di luar Jawa, pada tahun 1913, pengelolaan hutan terpecah ke tangan jawatan Kehutanan, Pamongpraja, pemerintah swapraja, masyarakat adat, dan swasta. Di Sumatera Selatan, masyarakat menolak pemberlakuan domein verklaring dan meminta pemberlakuan khusus di Semanggus, Muara Enim. Pada 1914 konsesi-konsesi hutan di Kalimantan Timur marak.
Pada
periode 1934 sampai dengan 1939 Peraturan “Hout Aankap Reglement” dikeluarkan
oleh Residen Kalimantan Timur, pemerintah swapradja yang punya kekuasaan
otonomi berdasar zelfbestuur dapat memberikan ijin penebangan hutan. Namun
karena ijin tersebut dinilai merugikan maka pada tahun 1939 mulailah kekuasaan
swapradja-swapradja dibatasi.
Pada masa Jepang
Pada
masa Jepang tidak banyak yang berubah, berdasar Osamu Sirei No 1 Tahun 1942,
tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang menyatakan bahwa seluruh
wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama
ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturan-peraturan
Militer Jepang. Ini berarti Ordonantie 1927 beserta aturan pelaksanaannya
Boschverordening 1932 tentang Jawatan kehutanan beralih kepada Jepang.
ketika
Indonesia merdeka, Jepang mengalihkan kekuasaan atas Jawatan tersebut melalui
Surat Ketetapan Gunsaikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/GKT tanggal 1 September 1945
tentang Peralihan Kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari Jepang kepada Republik
Indonesia.
Masa kemerdekaan.
Pada
tahun 1950, di bawah UUDS pasal 38 dan PP No 8 tahun 1953 kekuasaan swapradja
diakhiri, kekuasaan swapradja diserahkan kepada pemerintah Provinsi (Gubernur)
dan pengurusan hutan termasuk di bekas swapradja kembali sepenuhnya pada
Jawatan Kehutanan. Pada masa-masa inilah hutan-hutan yang kritis selama masa
perang dipulihkan, dan pemerintahan Orde Lama berkeinginan meningkatkan
pendapatan negara dari sektor kehutanan (Semesta Berencana Tahap I tahun
1961-1969).
Peraturan
Pemerintah Nomor 35 tahun 1963 tentang Penyerahan Pengusahaan Hutan-hutan
Tertentu kepada Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara diserahkan pengusahaan
hutan-hutan tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Agraria kepada
Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara, perusahaan ini selanjutnya disebut
Perhutani. Pada tahun 1964 bidang kehutanan yang sebelumnya berada di bawah
Menteri Pertanian dan Agraria dipisah menjadi Departemen Kehutanan.
Masa Orde Baru
Akan tetapi pada masa Orde Baru terjadi perubahan kebijakan yang memfasilitasi eksploitasi sektor kehutanan secara massif yang dimulai dengan UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, dilanjutkan UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, serta UU No 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal dalam Negeri, halmana menunjukkan sekaligus menegaskan kuatnya orientasi eksploitatif sumber daya alam.
Akan tetapi pada masa Orde Baru terjadi perubahan kebijakan yang memfasilitasi eksploitasi sektor kehutanan secara massif yang dimulai dengan UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, dilanjutkan UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, serta UU No 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal dalam Negeri, halmana menunjukkan sekaligus menegaskan kuatnya orientasi eksploitatif sumber daya alam.
Adapun
salah satu aturan turunannya adalah PP No 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Iuran Hasil Hutan. Pada tahun 1972 melalui PP No 15
Tahun 1972, Perhutani diubah menjadi beberapa unit, Unit I di Jateng, II di
jatim, II di Jabar. Perhutani di Kalimantan diubah menjadi Inhutani I Kaltim,
II Kalsel, III Kalteng dan Kalbar. Pada 1980-an semakin masiflah pemberian HPH
(hak pengusahaan hutan) dan menyusul berikutnya HTI (hutan tanaman industri).
Pada
tahun 1984 Dirjen Kehutanan diubah menjadi Departemen Kehutanan dengan SK
Presiden RI No 15 Tahun 1984. Pasca orde baru Perhutani mengalami perubahan
organisasi menjadi Perseroan Terbatas melalui PP No 14 tahun 2001 yang
mempertegas orientasi untuk semata-mata mengeruk keuntungan, namun kemudian
diubah kembali menjadi Perum pada tahun 2003 melalui PP No 30 tahun 2003, dan
kini menjadi PP No 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan
Negara.
Pengelolaan Hutan, Untuk Mengeruk
Keuntungan.
Melalui
gambaran perjalanan sejara singkat ini saya hendak menegaskan bahwa sejak masa
kolonial orientasi pengelolaan hutan adalah untuk mengeruk keuntungan semata
dengan mengabaikan hak-hak rakyat, tentu kecuali pada masa orde lama.
Di
Jawa, pengelolaan hutan dengan tanaman utama jati adalah dalam rangka ekspor.
Jawatan kehutanan dan Perhutani berkepentingan langsung atas hutan di Jawa,
sementara di luar Jawa sejak awal pemerintahan swapradja sudah mengeksploitasi
hutan melalui swasta dengan HPH (hak pengusahaan hutan) yang hingga ini masih
diwariskan.