
Penolakan itu diaplikasikan melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan
kepada Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) tertanggal 13
Desember 2015. Perihalnya adalah, meminta penghentian tambang emas Tumpang Pitu
Banyuwangi dan mencabut Ijin PT. Bumi Sukesindo (BSI).
Dalam surat terbuka yang dengan gentle juga mencantumkan nomor
handphonenya tersebut, selain meminta Presiden Jokowi mencabut ijin usaha
perusahaan, juga secara tegas meminta agar sikap kasar aparat yang disertai
kekerasan terhadap warga yang menyuarakan aspirasinya dihentikan.
“Pak Presiden Jokowi harus hentikan sikap kasar dan main kekerasan aparat
terhadap warga yang menyuarakan aspirasinya,” suluk Yanti dan Sumiati,
koordinator perkumpulan BMI Banyuwangi di Hongkong, kepada
media ini. Rabo (16/12)
Diketahui, pertambangan emas, sejak 1997 dan diresmikan 2012 itu hingga
kini terus beroperasi. Gunung Tumpang Pitu adalah hutan lindung sebagai kawasan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air mencengah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Tindakan penambangan emas ini, tentulah akan berpengaruh terhadap ekologi
Tumpang Pitu dan warga Kecamatan Pesanggaran, yang lebih dari 80 persen bekerja
sebagai petani.
Selain itu kawasan Tumpang Pitu dan sekitarnya masuk dalam kategori Kawasan
Rawan Bencana (KRB). Tercatat pada tanggal 3 Juni 1994 kawasan ini telah luluh lantak
diterjang badai tsunami. Saat pertama tambang emas mulai masuk, ketika itu
pemerintah daerah ingin menutup kawasan Pulau Merah dan secara otomatis
merugikan masyarakat di daerah tersebut. Tindakan itupun ditolak oleh
masyarakat dan terjadilah demonstrasi tolak tambang. Tapi sayangnya suara
masyarakat itu tidak mendapat respons semestinya.
Dalam catatan, pada 19 Oktober 2015, warga mulai resah kembali dengan
kedatangan truk-truk besar dan alat-alat berat yang sempat mengganggu aktivitas
mereka serta tidak ada ijin dan pemberitahuan. Wargapun memprotes, tetapi tidak
didengarkan. Hingga terjadilah unjuk rasa pada tanggal 19 Oktober yang
mengakibatkan kerusuhan dan penangkapan warga oleh aparat setempat.
Selanjutnya, warga menemui Direktur Umum PT. BSI Tumpang Pitu dan menuntut
penghentian transportasi besar-besaran yang sedang terjadi. Tetapi pihak
perusahaan hanya memberi janji-janji saja, dan tidak pernah ditepati.
Dekade berikutnya, warga melakukan aksi damai pada tanggal 18 November.
Sebelum aksi damai tersebut, dua orang penanggung jawab aksi sudah membuat
surat pemberitahuan. Namun Polres Banyuwangi hanya mengijinkan aksi di depan kantor
security jalan masuk PT. BSI saja. Warga dilarang masuk ke kawasan perusahaan
karena dianggap bisa berpotensi mengganggu alat vital milik perusahaan. Kendati
sebanyak 3000 warga turut dalam aksi damai tersebut, tetap saja warga
mendapatkan jawaban yang sama, tidak memuaskan sesuai harapannya.
Tanggal 24 November 2015, warga mendapat undangan dari kepala desa agar
menghadiri acara sosialisasi PT. BSI bersama pemerintah daerah pengobatan
Banyuwangi, pada tanggal 25 November 2015. Tapi sesampainya disana, ternyata
hanya dialog dan sempat timbul kegaduhan karena kekecewaan warga. Kapolres Banyuwangi,
saat itu malah melontarkan kekecewaannya atas sikap warga yang dianggap tidak
punya sopan santun dan etika. Hingga akhirnya terjadilah kerusuhan di PT. BSI yang
berlanjut pada aksi penembakan terhadap warga oleh aparat.
Keesokan harinya, pihak Polres menangkap paksa warga dan diduga asal
menangkap. Banyak warga yang terpaksa mengungsi karena kekerasan yang dilakukan
para aparat. Sementara intimidasi terus dilakukan pihak perusahaan dan aparat
terhadap warga yang semakin membuat warga merasa ketakutan.
“Banyak teman-teman kami yang menjadi korban dan saat ini belum juga
dibebaskan dari tuduhan sebagai tersangka. Tetapi tambang emas PT. BSI kini
sudah mulai beraktifitas kembali dan akan terus beroperasi sampai beberapa
tahun kedepan atau sampai emas habis. Nyawa kami ternyata tak semahal nilai tambang
!,” sergah Yanti dan Sumiati.
Untuk itu, sebagai buruh migran yang berasal dari Banyuwangi, baik Yanti
maupun Sumiati, selaku koordinator perkumpulan BMI tidak bisa tinggal diam
dengan kondisi yang menimpa tanah kelahirannya. “Tanpa tambang emas sekalipun,
rakyat Banyuwangi sudah miskin dan banyak yang terpaksa bekerja keluar negeri
sebagai buruh migran. Kehadiran perusahaan pertambangan emas hanya akan
memperburuk kondisi, kehidupan dan lingkungan kami,” tandas keduanya lagi.
Atas dasar itulah, perkumpulan BMI asal Banyuwangi yang bekerja di
Hongkong, meminta kepada Presiden Jokowi agar menghentikan operasional PT. BSI yang
kedepan jelas merusak masyarakat dan alam Banyuwangi. “Perlu Pak Jokowi ketahui,
bahwa kami warga dan buruh migran Banyuwangi dulu juga turut mendukung Bapak
ketika mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Kami tunggu tindakan
konkrit Bapak Presiden untuk menindaklanjuti aspirasi kami,” seru Yanti dan
Sumiati. (Hakim Said)