Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Sejumlah aktivis Perjuang Tanah,
dari Kelompok Tani Nogosari, Mangaran, Ketajek, Ungkalan, Curah Nongko dan
Curah Takir, Kamis (7/1) mebentuk konsorsium perjuang tanah.
“Sebenarnya sudah banyak para aktivis local yang
berjuang mencari keadilan, namun mereka bergerak sendiri-sendiri, semoga dengan
gagasan terbentuknya konsosium perjuang tanah, penyelesaian sengketa tanah di Jember agar bisa
segera terwujud”. Paparnya (edw)
Gagasan ini muncul, karena
sejumlah perselisihan lahan, tempat tinggal dan tanah garapan, antara petani dan
PTPN X, PTPN XII, PTPN XII. Perhutani,
dan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) serta perusahaan perkebunan swasta lain,
hingga kini masih banyak yang belum terselesaikan.
Bersama akademisi dan Bina
Desa, mereka duduk bareng untuk menyamakan persepsi, tentang arah perjuangan
Agraria, menyusun strategi dan berjuang bersama yang terarah dan tidak secara radikal,
dengan cara arif dan bijaksana agar lebih mudah mendapatkan kemenangan.
Sugito, ketua Himpunan
Masyarakat Tani Nogosari (HMTN), kecamatan Rambipuji, yang bersengketa
denganPTPN XI PG Semboro, berharap dengan bersatunya komponen yang ada, para pejuang
tanah bisa segera mendapatkan kejelasan haknya seperti yang diatur oleh
undang-undang.” katanya Kamis (7/1)
Sementara Mustafid dari
Fakultas pertanian Unevwersitas Jember (Unej), menyampaikan keprihatinannya
atas kasus tanah dan sengketa pertanahan (konflik agraria), factor utama, pertanian
mememerlukan lahan pertanian, sementara sebagian besar masyarakat pedesaan kita masih menjadi buruh
tani,
Masih kata Mustafid, hasil
penelitianya bahwa srtuktur agraria, sejak masa kemerdekaan hingga kini, masih
timpang, pasalnya petani tidak memiliki lahan, sebab penguasa dan pengelolanya
dari swasta dan pemeritah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga mereka
menjadi buruh tani,”Jelasnya
“sangat memprihatinkan,
masyarakat pedesaan hanya jadi tenaga serabutan, mereka tidak bisa bekerja di
desanya sendiri, akibatnya mereka memilih bekerja di kota dan menjadi TKI, padahal
Negara Indonesia adalah Negara Agraris, untuk itu pemerintah harus memberikan
kebijakan yang lebih kepada masyarakat pedesaan, dengan cara itulah pemerintah
bisa meningkatkan perekonomian pedesaan”Ungkapnya
Lanjut Mustafit “Dari
pengamatan 23 Sengketa tanah di Jember masih banyak terjadi konflik dengan
perusahaan Perkebunan dan perhutani, selebihnya masih ada potensi konflik
adanya pengelolaan hutan lindung, yang sebenarnya hutan lindung tidak boleh
dikelola masyarakat” jelasnya
Untuk lahan ekologis dan
lingkungan, menurut Mustafit, konfliknya dengan alam “terjadinya longsor dan
banjir, seperti panti, sebab dataran tinggi sudah menjadi lahan pertanian,
dengan demikian pemerintah harus bisa memetakan“ Pungkasnya
Sementara Khoirinisa dari
bina Desa, untuk mewujutkan kedaulatan masyarakat desa dengan jalan membangun
kemandirian disegala bidang, mulai dari soal pertanian, Ekonomi, dan masalah
agraria, mengingat konflik tanah sangat luas terjadi di Jember.