
Hal itu ditegaskan Setyo lantaran muncul pemberitaan di media
daring yang dinilai merugikan korps adhyaksa yang menyebut Jaksa Nining
melarang terdakwa yang berada di Lapas Kelas II A Jember untuk didampingi
penasehat hukum (PH) saat sidang perdana melalui video konferensi.
“Pada kenyataannya, Jaksa Nining menyampaikan perintah Ketua
Majelis Hakim Tipikor Surabaya kepada PH terdakwa, agar Jaksa Penuntut Umum
(JPU) dan PH hadir di ruang sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya”, jelasnya
dalam rilis yang diterima redaksi, Jumat (12/6/2020).
Selain itu, Jaksa Nining di Lapas hanya bertugas memfasilitasi dan
memantau jalannya persidangan yang digelar dengan protokol kesehatan tersebut. Sebab itu, Jaksa Nining berkewajiban
menyampaikan perintah yang dikeluarkan majelis hakim dalam sidang itu kepada PH
terdakwa.
Namun, ketika mencari PH di ruang tunggu lapas, Jaksa Nining tidak
melihat seorang pun di ruang tunggu lapas. Apalagi istri terdakwa, hanya ada
petugas jaga. “Jadi teror itu tidak
benar, Jaksa Nining hanya memfasilitasi. Tidak melarang, apalagi melakukan teror,”
tegasnya.
Lebih jauh Setyo menjelaskan keluarnya perintah majelis hakim.
Setyo berkata, sidang pertama itu beragendakan pembacaan dakwaan oleh JPU. Dua
JPU yang hadir dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya membacakan dakwaan.
Setelah itu, majelis menyampaikan perintah agar JPU dan PH hadir
di ruang sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Sementara terdakwa tetap berada
di Lapas Kelas II A Jember. Sidang kemudian ditutup.
Tindakan itu diketahui petugas lapas dan para terdakwa lainnya, bahkan
Ia sempat berkomunikasi dengan terdakwa terkait keinginan PH mendampingi di Lapas.
“Padahal sudah jelas disampaikan ada perintah majelis hakim bahwa PH
mendampingi di ruang sidang di Surabaya,” tandasnya.
Saat itu Jaksa Nining dapat jawaban Fariz, yang mengatakan mungkin
PH ingin menyerahkan eksepsinya. Pernyataan Fariz ini juga didengar para
terdakwa lainnya. Terkait dengan tuduhan
menghalangi wartawan untuk meliput.