![]() |
Suasana seminar nasional Senin (9/12) di Jakarta |
Pemerintah pun diminta
untuk mengkaji ulang rencana aksesi tersebut untuk melindungi industri tembakau
dan rokok nasional dengan tanpa mengabaikan aspek perlindungan kesehatan
masyarakat. Pemaksaan atas aksesi FCTC juga merupakan bentuk pengingkaran
kontribusi industri kretek terhadap perekonomian nasional, dan bentuk
pengabaian pemerintah terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Demikian pesan Seminar
Nasional dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia bertema “Aksesi FCTC
dan Dampak Pengendalian Tembakau bagi Pemenuhan HAM di Bidang Ekonomi, Sosial
dan Budaya” yang diselenggarakan oleh Center for Law and Order Studies bekerja
sama dengan Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), di Jakarta pada Senin (9/12).
“Jika Pemerintah
mengaksesi FCTC maka industri rokok kretek Indonesia akan kalah dengan rokok
putih yang dimiliki oleh kekuatan asing,” jelas Sekjen Gabungan Perserikatan
Pabrik Rokok Indonesia Hasan Aoni Aziz.
Dijelaskan Hasan,
Indonesia merupakan produsen dan pasar kretek yang menguasai 93% market share,
berbeda dengan negara lain yang menjadi pasar dari produk putih pada umumnya.
“Akan terjadi standarisasi produk berpotensi melenyapkan kretek dari indonesia
dan menghilangkan tembakau lokal,” jelas Hasan.
Ketua Asosiasi Petani
Tembakau Indonesia Nurtanio Wisnu Brata menjelaskan kretek merupakan produk
yang mempunyai peranan dalam pendapatan negara melalui cukai. “Tembakau juga
menjadi sumber pendapatan banyak komponen masyarakat, mengingat produksi kretek
adalah mata rantai produksi besar yang menarik jutaan orang dalam produksi baik
hulu maupun hilir,” jelasnya..
Dijelaskan Wisnu, dari
1.132 pabrik pada tahun 2008 turun menjadi 1.051 di tahun 2009 dan tersisa
kurang dari 1000 pabrik di tahun 2010. Dari jumlah itu, 53% pabrik berada di
Jawa Timur yaitu 550 perusahaan, dan sisanya menyebar ke berbagai daerah,
diantaranya Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jogjakarta.
Demikian halnya kondisi
disektor hulu, yaitu sektor pertanian tembakau. Dari tahun ke tahun produksi
tembakau Indonesia mengalami penurunan, dari 192 ribu ton (2002), menjadi 165
ribu ton (2007), dan tahun ini berada pada kisaran 120 ribu ton (2013) pada
areal lahan 160 ribu hektar.
Sementara saat ini
permintaan tembakau nasional mencapai 300 ribu ton, dengan demikian kekurangan
kebutuhan itu dipenuhi dengan. Apabila FCTC diaksesi maka berlaku strandarisasi
produk tembakau, dengan demikian akan memunculkan pembukaan lebih besar lagi
kran impor dan tidak menutup kemungkinan akan membentuk kartel-kartel importasi
tembakau.
“Demikian halnya ancaman
yang terjadi disektor ketenagakerjaan juga cukup mengkhawatirkan. Apabila FCTC
diaksesi maka pekerja pabrik rokok sangat rentan menjadi korban, dari
penurunan kesejahteraan akibat regulasi yang memberatkan industri sampai pada
pengurangan pekerja atau penutupan pabrik yang mengakibatkan PHK,” terang
Wisnu.
Sementara itu Penggiat HAM
dan Direktur Setara Institut Hendardi menegaskan semangat FCTC ini bertendensi
pada penghilangan sebuah relasi ekonomi, sosial dan budaya sehingga berpotensi
melanggar HAM.
“Pemerintah mempunyai
kewajiban untuk melindungi hak atas pekerjaan sehingga tidak mengakibatkan
waganya kehilangan pekerjaan. Pemaksaan untuk mengaksesi FCTC, tanpa
mempertimbangkan dampaknya secara luas, berpotensi sebagai bentuk pelanggaran
hak asasi manusia, khususnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB),”
jelas Hendardi.
Budayawan Radhar Panca
Dahana melihat rokok kretek sebagai warisan budaya Indonesia yang berbeda dengan
jenis cigarette lainnya. Diceritakannya saat berada di Paris bersama WS Rendra,
dirinya menghisap rokok kretek diarena tempat mangkalnya para pelukis-pelukis
dunia. “Secara spontanitas mereka menyebut kretek-kretek dan mendekati saya,
lalu saya memberikan rokok kretek tersebut. Mereka sangat bergembira,”
cerita Radhar.
Makna yang bisa diambil
menurut Radhar, rokok kretek merupakan identitas atau penanda bangsa Indonesia,
“itu sebagai identitas, orang menandakan Indonesia dari kreteknya,” jelasnya.
Radhar juga melihat ada
upaya sistematis untuk merusakan semua kekuatan fondasi di Indonesia termasuk
menghancurkan industri tembakau, “semua pondasi dirusakan, itu by design.
Mereka ingin menghancurkan kekuatan-kekuatan historis bangsa Indonesia yakni
rempah-rempah berupa cengkeh,” urai Radhar mempersoalkan pembatasan FCTC.