
Semenjak lahir, benjolan itu sudah ada seperti tanda,
kemudian membesar seiring bertambahnya usia. Namanya Julianto, bicaranya
renyah, pemuda jangkung itu menutupi separuh wajahnya dengan rambut, sebagian
lagi ia biarkan terbuka. Sesekali ia menyibak rambutnya yang dibiarkan terurai.
Akibat benjolan itu penglihatan, mata kirinya tak
berfungsi dengan baik. “Sudah 24 tahun saya mengidap tumor di wajah. awalnya
kecil, namun semakin membersar seiring dengan bertambahnya umur saya,” Demikian
kata Julianto, mengawali pembicaraan ketika sejumlah wartawan mempertanyakan
kondisinya, Senin (26/10).
Meski demikian, pemuda yang tinggal di Lingkungan
Baratan Timur Kelurahan Baratan Kecamatan Patrang itu tidak putus asa, untuk menyembuhkan
penyakitnya,dia tetap berusaha agar mendapat pengobatan medis. Upaya itu ia
lakukan sejak tiga tahun terkahir.
Karena kondisi ekonominya yang pas-pasan, usaha agar
dapat dioperasi masih belum kesampean. “Sebenarnya sudah beberapa kali ada orang
yang menawarkan bantuan untuk diobati secara gratis, meski sebagian besar
diantaranya hanya sebatas janji,” terangnya.
Saat ini, anak ketiga dari pasangan Asmuji dan
Yatiningsih itu hanya bisa pasrah dengan keadaannya. Bagi dia, kesembuhan
merupakan rahasia Tuhan. “Ingin sembuh pasti, tapi itu apa katanya yang di atas
(Tuhan), yang penting saya sudah berusaha, dan bersedia untuk dioperasi,”
ujarnya.
Pernah Dijanjikan Parpol
Setahun yang lalu, ada sebuah rumah sakit swasta yang
berusaha membantu dengan operasi gratis. Namun karena tumor diwajahnya cukup
besar, tim medis harus berhati-hati untuk mengambil tindakan, harus ada langkah
pemeriksaan awal sebelum dirinya dibawa ke meja operasi.
“Beberapa kali saya diperiksa, ada sekitar lima dokter
ahli yang terlibat. Menurut para dokter, tumor saya ini sudah menyatu dengan
gen. Namun sampai sekarang saya masih disuruh nunggu panggilan mengenai
kepastian waktu operasinya,” ceritanya.
Suatu kali celaka menimpanya, sebuah paku merobek
benjolan seukuran kepala orang dewasa itu. Pemuda 24 tahun itu bertahan, sampai
kemudian juragan yang mempekerjakannya membawanya ke rumah sakit, namun hanya untuk
menjahit luka serta mengobatinya.
“Sekitar dua bulan yang lalu, dia (Julianto) terkena
paku saat bekerja. Benjolan di pipinya robek, dan sempat mendapat jahitan di
rumah sakit swasta di Jember,” kata Wiyono, tetangga yang mempekerjakan
Julianto di bengkel ketok megic.
Sempat ada partai politik yang menawarkan akan
dioperasi yang disampaikan oleh pengurus partai itu. “Ada dua partai politik
yang pernah menjanjikan pengobatan gratis. Katanya dua bulan akan dioperasi.
Namun setelah berbagai persyaratan administrasi selesai diurus, janji itu tak
pernah terbukti,” terangnya.
Tak hanya sekali, sejumlah orang yang menawarkan
operasi gratis. “Saya hanya kasihan melihat Julianto yang harus wira-wiri
ngurus administrasi. Padahal setiap kali mengurus surat dia harus meniggalkan
pekerjaan dan kehilangan uang untuk transportasi,” ucap Wiyono.
Meski mengidap tumor, sambung Wiyono, Julianto
tergolong anak yang tekun bekerja. Setiap hari dia selalu datang untuk
membantunya menyelesaikan repasarasi body mobil. “Sudah tiga tahun ini dia membantu saya di
bengkel ketok megic. Dia cukup rajin dalam bekerja,” ucapnya.
Sebagaimana keluarga Julianto, Wiyono juga berharap
ada seorang dermawan yang siap membantu pengobatannya hingga sembuh. Asal, tak
melulu janji, seperti dua partai politik yang sempat memberinya harapan namun
tak terbukti.
Tak Pernah Menyerah
Meski benjolan tersebut mengakibatkan alisnya
terseret, mengikuti pembengkakan di pipi, rambut yang tumbuh di janggut pun tak
lagi teratur, sebagian terlihat subur pada kulit wajah yang mengendur. Pemuda pengidap
tumor wajah di Jember ini tak pernah menyerah dengan kondisinya.
“Setamat SMP, saya bekerja sebagai loper tembak (Loptem)
di salah satu koran harian lokal. Saat itu, tumor yang ada di wajah sebelah
kiri saya masih sekepalan tangan,” katanya, yang juga menjelaskan dirinya lebih
memilih bekerja dari pada melanjutkan sekolah.
Selama dua tahun menekuni pekerjaan loptem baru
kemudian Julianto pindah ke sebuah depot. Pekerjaannya di warung makan tak
bertahan lama, hanya bertahan selama tiga bulan. “Setelah itu saya menjadi kuli
bangunan, dan terakhir menjadi pekerja di bengkel ketok megic milik Pak
Wiyono,” tuturnya.
Semua pekerjaan itu mesti dia lakoni untuk bertahan
hidup. Meski beberapa kali dia harus celaka karena tak maksimalnya fungsi penglihatan.
Saking besarnya, tumor itu menutupi mata sebelah kanan, hingga harus menoleh
untuk melihat ke arah kanan.
Ditanya soal pendapatan, pria empat saudara itu enggan
membuka. Baginya, yang penting menghasilkan uang untuk makan. Putra ketiga
pasangan Asmuji dan Yatiningsih ini mengaku tak lagi menghiraukan keberadaan
benjolan itu. Meski diawal-awal dirasanya begitu mengganggu. “Enngak, sekarang
sudah biasa kok,” jawabnya.
Wiyono, tetangga yang mempekerjakan Julianto
mengatakan, meski menderita tumor yang menutupi separuh wajahnya, Julianto tak
pernah merasa minder sekalipun. “Dia termasuk anak yang percaya diri. Terlihat
biasa saja, seolah tak memiliki penyakit apa-apa,” terangnya.