
Bahkan Negara lebih banyak
memfasilitasi modal besar. Hal ini ironis mengingat petani adalah soko guru
bangsa. Tulang punggung negara. KH. Hasyim Asyari menyebut sebagai pahlawan
negeri. Hal ini terungkap dalam diskusi Reforma Agraria di Desa Dukuh Dempok, Wuluhan,
Jember, Jumat – Sabtu (24-25 Maret).
Sejumlah aktivis ini Paguyuban
Petani Mandiri Jawa Timur (PAPANJATI), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS)
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Malang Corruption Watch (MCW), YLBHI-Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Surabaya.
Tampak juga Front Nahdliyin
untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), KontraS Surabaya, Koalisi Masyarakat
Pegiat Antikorupsi dan Peradilan BERSIH (KOMPAK BERSIH), CHRM2 ( Centre for
Human Rights Multiculturalism and Migration) UNEJ dan BEM Fakultas Hukum Unair.
“Kedaulatan pangan dan
keadilan Agraria tidak akan terwujud manakala ketidakadilan agraria terus
dipelihara, ketimpangan selalu di kompetisikan dan lemahnya political will
penguasa untuk menyelesaikan berbahagia problem Agraria”. Kata koordinator
kegiatan dari Papan Jati ini Lasminto,
Menurutnya konflik agraria
di Jawa Timur terjadi secara sistematik dan meluas mengakibatkan penyengsaraan
dan pemiskinan sosial. “Bahkan, kekerasan demi kekerasan terus menerus terjadi,
sebagaimana terjadi di Wongsorejo Banyuwangi, intimidasi dan kriminalisasi di
kasus Sengon Blitar” Katanya.
Konflik sosial dipicu perampasan
tanah masa lalu yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan Negara/PTPN maupun
Swasta, TNI, dan Perhutani. “Jumlah kasus tanah mencapai 102 kasus, tersebar di
16 Kabupaten. Ini menempatkan Jatim sebagai Provinsi yang paling produktif
penyumbang konflik Agraria nasional”. lanjutnya
Kasus ketidakadilan
agraria ini menurutnya dibiarkan mangkrak tanpa penyelesaian, tanpa upaya
pengungkapan kebenaran, pengakuan hak atas tanah rakyat. Bahkan manipulasi
administrasi pertanahan melahirkan ketidakadilan dan pemiskinan sosial kian
parah situasinya.
Di sisi lain, penyusutan
lahan produktif untuk alih fungsi proyek-proyek pembangunan, serta peralihan
kawasan hutan lindung menjadi area pertambangan, telah melahirkan situasi
penghancuran ekologi dan perusakan lingkungan, yang berdampak pada kehidupan
sosial budaya dan ekonomi rakyat.
Bahkan, desentralisasi
melahirkan arogansi elit daerah dengan didukung aparat keamanan yang memicu
kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat, “sebagaimana terjadi dalam kasus
industry tambang emas PT BSI di Gunung
Tumpang Pitu Banyuwangi dan pasir besi di Lumajang”. lanjutnya
Ketimpangan penguasaan dan
pemilikan lahan perkebunan dan hutan, memperlihatkan bisnis yang menguntungkan
segelintir pemilik modal serta bisnis militer yang berpotensi melanggengkan
praktek koruptif yang melemahkan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang
bersih dan bertanggung jawab.
“Kasus Sumberanyar dan
Alas Tlogo di Pasuruan berhadapan dengan TNI AL adalah bukti tersebut, begitu
juga kasus tanah di Malang Selatan, kasus penguasaan Perkebunan gunung Nyamil
oleh PUSKOPAD dan kasus penguasaan perkebunan Ponggok oleh AURI di Blitar”.
katanya
Konsentrasi penguasaan
lahan berskala besar untuk industri perkebunan nyatanya tidak memberikan
jaminan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Alih-alih sejahtera, justru
masyarakat sekitar hanya menjadi buruh. Pada kenyataannya, kebijakan tersebut
tetap melanggengkan ketimpangan Agraria. Ini dapat dilihat di Jatim yg terdapat
126 perusahaan perkebunan (swasta dan PTPN) yg menguasai lahan skala besar dan
diduga tidak melakukan kewajiban sebagaimana perintah UU.
Banyaknya Kriminalisasi
terhadap petani dan pejuang keadilan agraria di Indonesia dalam satu dasawarsa
ini, memperlihatkan pula karakter pemerintahan yang tak berubah paradigma lama
yang mengandalkan otoritas hukum untuk menindas.
Hal ini juga menunjukkan
bahwa aparat penegak hukum (APH) senyatanya tidak memahami esensi konflik
Agraria. Kasus Petani Tulang bawang, Sumatra, Petani Surokonto, Jateng, Kasus
tanah Sengon yang memenjarakan pak Daroini hari ini di Blitar adalah realitas
penindasan tersebut.
Kami semua merasa
ketidakadilan agraria mengancam kedaulatan pangan, krisis ekologi, dan
penghancuran sosial budaya, yang situasinya terjadi terus menerus tidak hanya
di Jawa Timur, melainkan pula di dalam kasus Rembang dan Pati dalam upaya
menolak industri semen, serta banyak tempat lainnya di Indonesia.
Realitas ini menegaskan yang
dicitakan Jokowi dalam Nawacita bertolak belakang dengan kenyataan. “Untuk itu Kami menuntut Jokowi mempertanggungjawabkan
situasi ketidakadilan dan keterpurukan yang mengancam kedaulatan rakyat, dan
menyegerakan penuntasan konflik agraria”. Pungkasnya. (eros)