Arkrogis tersebut dapat
direkasikan dengan apa yang tersurat dalam sumber data teadisi (babad) tentang
kerajaan Blambangan. Jejak sejarah dan arkeologis, khususnya di Dusun
Beteng" dan di dua desa tetangganya, mengarah kepada artefak dari Masa
Hindu-Buddha dan awal perkembangan Islam.
Hal itu jadi petunjuk
bahwa kesejarahan di Semboro dan sekitarnya berlajut dari zaman Prasejarah ke
Masa Hindu Buddha, yang sezaman dengan Masa Akhir Majapahit (XV-XVI Massehi). Kata
arkeolig UN Malang M Dwi Cahyono di
seminar Situs Beteng Majapait, di Kantor Desa Sidomekar Minggu, (9/12/2018) bersama
pembicara lain yaitu Pendiri Musium
Puger, Y Styohadi, Forum Kumunitas Barata Sabto Prabu Zainuel Ahmad, dan Kepala
Desa Sidomekar Ir Sugeng Priyadi
Dalamn kaitan itu,
tentulah tak jauh dari Situs Beteng terdapat
bangunan keagamaan semisal candi. Kemungkin arti yang demikian pada paparan
berikut akan dipergunakan untuk menelisik tinggalan arkeologi yang tersisa dan
berhasil dijumpai di wilayah Semboro dan sekitarnya.
Paling tidak terdapat tiga
areal di Semboro dan sekitarnya dijumpai jejak arkeologis dan disebut dalam
sumber data hustoris, yaitu (1) Situs Beteng di Desa Sidomekar, Semboro, (2) Situs Kutho Dawung di Dusun Kutho
Dawung (kini masuk Dusun Karangrejo, kini menjadi "Kuthoharjo",) Desa
Paleran Kecamatan Umbulsari, dan (3) Situs Penggungan Desa Klatakan Kecamatan
Tanggul.
Meski berbeda desa dan
kecamatan, namun desa-desa dimana situs-situs itu berada adalah desa-desa yang
bertetangga, dengan radiius kurang dari 2 Km. Situs Kutho Dawung misalnya,
hanya dipisakan oleh persawahan sejauh 1,5 sd 2 km dari Situs Beteng, yang
berada di sebelah Barat Daya-nya.
Sementara Situs Candi
sekitar Daerah Semboro, Situs Candi
Sukoreno berada di Dusun Krajan Lor Desa Sukoreno Kecamatan Umbulsari. Jarak
dengan Situs Benteng sekitar 7 Km. Temuan yang didapati berupa dua buah arca
(sejak tahun 1990an raib), stuktur bata kono, lumpang batu, dsb.
Disamping situs candi ini,
terdapat reruntuhan candi cukup besar, yakni Candi Deres di Dukuh Deres di
Kecanatan Gumukmas, yang berada di tanah menggunduk (gumuk) di tengah
persawahan. Jarak Candi Deres dangan Situs Beteng sekutar 15 Km ke arah
selatan.
Jejak candi juga didapati
di Desa Gunungsari Kecanatan Umbursari, sekitar 5 Km dari Situs Beteng. Pada
situs pernah ditemukan beberapa arca batu (sekarang raib), bata-bata kuno, dsb.
Ada berita bahwa di Situs beteng pernah terdapat arca Siwa (belum jelas
akyrasinya), yang pada tahun 1968 di buang ke Subgai Menampu.
Ada pula kabar bahwa di
areal PG Sembiro juga pernah diketemukan arca batu. Hal ini kian mempetkuat
bahwa di Semboro dan sekutarnya pernah terdapat tempat-tempat peribadatan dari
Masa Hundu-Buddha, pada nama warga Semboro di masa lampau berderma ubtuk
pelajsaan upacara keagamaan padanya.
Salah satu sumber data
tekstual dengan kesejarahan Sembar-Kesawung adalah "Babad Sembar",
yang naskahnya diedisikan oleh Winarsih Partaningrat Arifin (1995). Susastra
yang berbentuk "babad" ini disurat oleh Patih Prabalingga pada tahun
1800-an. Pada telaah ini data tekstual pada Babad Sembar yang dijadikan bahan
eksplorasi adalah Pupuh Dandhang Gulo, yang terdiri atas 11 bait.
Nama "Sembar"
sebagai sebutan bagi susastra ini duambil dari sebutann salah seorang tokoh
yang disebut di dalamnya, yaitu "Mas Sembar", yakni salah seorang
anak dari Lembu Miruda. Adiknya yang sangat cantik bernama "Mas Ayu
Singasari" (bait ke-3). Adapun Lembu Miruda adalah putra Brawijaya dari
Majapahit.
Setelah Majapahit
mengalami keruntuhan (rusake Majalengka), ia mengungsi ke timur, masuk hutan,
mendaki gunung, dan sampai di hutan wilayah Blambangan (bait ke-1). Kemudian
tiba di Batu Putih (Watu Putih) dan mendirikan asrama. Ia memohon kepada Hyang
Agung agar dikaruniai keturunan yang bakal menjadi raja-raja di Jawi Wetan
(bait ke-2).
Pada siri teks tersebut,
meski tokoh yang disebut pertama adalah Lembu Amuruda, namun yang dijadikan
sebagai judul naskah adalah "Mas Sembar", yang pada baris terkhir
bait ke-3 dinyatakan "menhadi raja di Blambangan (ditulis
"Blangbangan"), berkuasa di timur (nyanrawati ing wetan). “Tergambar bahwa yang diposisikan sabagai
cikal-bakal (vamsakreta, vamsakara) dari raja-raja di Blambangan adalah Mas
Sembar, bukan ayahnya (Lembu Amiruda)”. Urainya.
Dalam teks ini, Amuruda
lebih digambarkan sebagai seorang rokhaniawan yang tinggal di srama (asrama)
Batu Putih. Kerajaan padamana Mas Sembar mengawali kekuasaan Kerajasn
Blambangan adalah di sebelah timur lokasi srama Amiruda, yang bisa jadi di
lereng gunung Tengger-Semeru.
Nama "Batu
Putih" mengingatkan kita kepada nama "rabut macan prthak (bukit macan
putih)" yang disebut dalam salah satu prasasti pendek (short inscription)
di Pasrujambe dalam wiilayah Kabupaaten Lumajang pada lereng selatan Semeru.
Boleh jadi, srama Watu
Petak itu berada di dalam hutan (wanasrama) Pasrujambe, yang di dalam babad ini
dinyatakan sebagai "wana Blambangan". Adapun lokasi dari Kerajaan
Blambangan yang didirikan kali pertama oleh Mas Sembar berada di sebelah timur
dari srama Watu Putih, yang berati di selah timur Lumajang.
Dimana lokasi ibukota
kerajaan Blambangan mula itu? Indikatornya unsur nama "Sembar" dan
"Mas Sembar". Nama dibelakang honirifix prefix "Mas" itu
bakanlah nana diri, melaikakan nama tempat yang menjadi daerah lungguh
(apabage)-nya. “Jadi, Sembar adalah nama tempat apanage-nta “Bandingkan juga
dengan unsur nama Singosari dari sebutan "Mas Ayu Singosari", yakni
adiknya. Nenilik kedejatan namanya”, katanya.
Sangatlahlah mungkin tanah
lungguh Sembar adalah di wilayah Semboro sekarang, dimana nama kuno (archauc
nane) dari apa yang kini dinanai "Semibiro" adakah
"Sambara" atau "Sanbhara", dengan gejala bahasa berupa
pergantian vokal "o" dan dalam istilah Jawa Baru dengan vokal
"a" dalam bahasa Jawa Kuna, yaitu dari "SebOrO" menjadi
"SanbArA". Gejala bahasa berikytnya adalah pelesapan vokal
"a" diujung kata, yakni dari "SembarA" menjadi "Sembar
(tanpa vokal "a").
“Bila benar demikian, maka
ibukota (kadatwan, kedaton) Blambangan di era pemerintahan raja Mas Sembar
adalah di daerah Semoboro, bukan di Puger sebagaimana pendapat yang sejauh ini
dilansir Dengan perkataan lain, Semboro adalah lokasi "Blambagan Mula”,
jelasnya.
Tinggalan arkeoligis di
Situs Beteng di Desa Sudomekar (sebelum tahun 1989 masuk wilayah Desa Semboro)
amat mungkin sebagian berasal dari kerajaan. Blambangan Mula di era
pemerintahan Mas Sembar itu -- menurut versi "Babad Sembar". Semboro
adalah daerah yang berada di sebelah timur Lumajang (konon disebut
"Lamajang") yang merupakan daerah keberadaan wabasrama ayahnya (Lembu
Miruda).
Pilihan lokasi kadathan
Blambangan Mula di Semboro (Sambara, Sambhara) adalah: (a) kedekatan jaraknya
dengan Lamajang, (b) bertanah subur -- lantaran berada di lembah Gunung
Argopuro (Hyang) -- dan berkecupan air, sehingga potensial untuk perekonomian
agraris , (c) topografinya rata (flat), (d) telah terdapat sistem sisial-budaya
yang rekatif teratur, sebab Semboro telah menjadi hunian manusia sejak Masa
Bercocok Tanam di Zaman Prasejarah, terbukti adanya temuan beberapa kapak tradisi
Neolitik.
Ada kemungkinan, pada masa
pemerintahan putra bungsunya, yang menurut "Babad Sembar" (bait
ke,-4) bernama "Bima Koncar (sumber data lain menyebut "Minak Koncar"),
kadatwan direlikasi ke Lamajang. Apabila benar tetjadi relokadi, ada kemukinan
di Sembara ditempatkan saudaranya, yaitu Gede Puner Cinde Amih atau Bimanabrang
Wijaya sebagai penguasa vasal (nagari, kerjaan bawahan) Vasal Blambangan.
Demikian, tatkala
Blambangan diperintah okeh putra sulung dari Bima Koncar, yakni Menak
Pentor", kadarwan Blambangan masih berkadatwan di Lamajang. Ketika
perintahan Menak Pentor inilah, kerajaan Blambangan tengah mencapai "Masa
Keemasan (Golden Petiode)".
Menurut catatan Tome Pires
dalam "The Duma Orental" (1528 Masehi), Blambangan di era
penerintahan "Pate Pintor (trabslur dalam bahasa Pirtugis untuk
"Menak Pentor" dalam sebutan "Babad Sembar") berhasil
merebut Gamda (SO. Robson menyatakan sebagai penulusan yang salah dari
seharusnya "Garuda", dilokasikan di daerag Pasuruan sekarang, bisa
jadi antara Rembang-Bangil), Pajarakan hingga Panarukan fi Pantura Jawa, yang
dikuasaunya kisaranbtahun 1505-1513 Masehi).
Selain itu, Bambangan juga
berkuasa di Prabalingga, Cijtan (?) dan tentu Lamajang sendiri. Kekuasaan
Blambangan juga necakup Prasada (mungkin dmsama dengan Depresda yang tertera
pada oeta Kompeni tahun 1600-an, dekat Bajulmati di Baluran) dan daerah Babadan
(?), yang dikuasai oleh adiknya,
Yaitu Nenak Gadru. Saun
itu, kekyasaan Blambangan meliputi juga Candi Bang (mungkin menujuk kepada
Candi Jabung dari bata merah di Sajabung), yang diperintahboleh adiknya yang
lain, yaitu Menak Cucu. Terganbar bahwa daerah-aerah di Pantura Jawa berhasil
dikuasai Blambanfan
Jika tahun 1505-1513
Masehi, yakni ketika Blanbangan di bawah pemerintahan Menak Pentor (Pate Pintor)
menguasai daerah Gamda, Pajarakan hingga Panarukan, ada kemungkinan
pemerintahan kakeknya, yaitu Mas Sembar, yang berharak dua generasi,
diprakirakan setekah tahun 1478 namun sebelum tahun 1505-1513.
“Dengan perkiraan satu
generasi pemerintahan antara 15-30 tahun, berarti era pemerintahan Mas Sembar
di Sambara adalah tahun 1480-1490 Maseni, atau pada permulaan dinasti
Girindrvarddhna di Kerajaan Majapahit”, ulasnya.
Raja Blambangan pengganti
Menak Pentor adalah Menak Pengseng, yang boleh jadi kala itu kadatwan
Blambangan masih di Lamajang. Putra sulungnya, yang kelugus putra mahkota,
bernama Menak Pati Dalam certa Bali, ia disebut "Sri Juru", yang
ditewaskan oleh Dalem Watu Renggong.
Kesempatan adanta
"vakum suksesi" pada pemerintahan pusat Blambangan di Lamajang itu
dimanfaatkan anak Menak Gadru yaitu Menak Lampor untuk mengambil alih tahta.
Hal ini dipucu oleh sebab Denak dibawah peneruntahan Sultan Tranggono untuk
mengusai daerah-daerah Panyra Jawa pada kawasan Tapal Kuda. pada rahun 1531, Panarukan
jatuh dalam serangan Demak.
Ada kemungkinan, pengambil
alihan kekuasaan pada pemerintahan itu berlangsung pada sekitar tahun 1531
Masehi. Demikianlah, semenjak itu pemerintahan pusat Blambangan di Lamajang
beralih dari garis keturunan Menak Pentor ke keturunan Menak Gadru. Nantinya,
takta dioperkan oleh Menak Lampir ke putranya, yaitu Menak Lumpat (disebut juga
"Panferan Singasari").
Nampaknya, setelah
ditinggalkan oleh Menak Lampor yang semula berkuasa di Pabarun ke Lamajang,
posisinya digantikan oleh sanak keluarga Blambangan yang lain, hingga pada
akhirnya dikuasai oleh tokoh yang di dalam tulusan C. Leckerkerker yang kutip
oleh H.J. de Graff (1989) diseut "Cariaen'.
Sebutan ini boleh jadi
adalah jabatannya, yang dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan disebut
"Rakryan" atau disingkat dengan "Kryan" atau
"Kiyen" dalam translir Cina, yang menujuk kepada penguasa warak
(watek). Menurut Winarsih (1995:312), Kiyen Berkuasa di Kedawung. Namun belum
dapat dipastikan bilamana mula berkasanya.
Lokasi kedaton Kedawung
hanya berjarak sekitar 1,5 Km di sebalah barat-laut Situs Beteng, yang tiada
lain adalah Kedaton Blambangan di Sembara yang didirikan oleh Mas Sembar. Ada
kungkinan, Kiyen adalah anggota kekuarga Blambangan, yang berketurunan jauh
demgan Mas Sembar, yakni generasi ke-4 (cicit).
Berkat hubungan baiknya,
Kerajaan Gegel di Bali, seolah menjadi "pendung" terhadap Kriyan.
Kerajaan Kedawung yang semula hanya vasal Bkambangan lantas mempunyai wilayah
kekuasan yang luas, hingga ke Panarukan di Patura Jawa, dengan jalan membunuh
ibu suri, yakni janda Santaguna.
Kompeni Belanda pun acap
dibikin repot olehnya, dengan menerapkan "hak rawan karang" kepada
orang-orang Belanda yang melakukan kegiatan dagang di Panarukan. Bahkan, pada puncaknya
Kriyan deklarasikan diri sebagai raja Blambangan (Hal ini bagaikan ada
"dua matahari" Blambangan.
Oleh karena itu, Menak
Lumpat yang tengah berkuasa pada pemerintahan pusat Blambangan di Lamajang
bertindak untuk 'merebut payung (mengambil alih kejayaan)" atas Jerajaan
Kedawung pada tahun 1633. Kriyan dapat diusir dari keratonnya. Dirinya bersama
sanak keturunan dibinasakan.
Semenjak itu, Kedawung
ditempatkan kembali di bawah panji Kerajaan Blambangan. Bahkan, kadatwan
Blambangan direkokadikan ke Kekedawung. Pada tanggal 25 Mei 1633 raja Gelgel
mentabuskan Menak Lumpat sebagai raja untuk seluruh daerah kekuasaan
Blambangan. Seolah sejarah berulang, Blanbangan yang didirikan oleh Mas Sembar
di Sanbara pada sekitar tahun 1480-1490an, stelah hampir 1,5 abad "balik
pulang" ke Sambara.
“Tahun ini adalah penguasa
daerah di Panarukan yang bernaung dibawah raja Blambangan yang kala itu
dipegang oleh Menak Lumpat. Pada perempat pertama abad XVII terjadi lagi
gelombang ekspansi kekuasaan ke Daerah Tapal Kuda”, pungkasnya. (eros/yond).