Ingatan tentang kondisi
sungai bedadung yang elok, seolah terus melekat di benak Ponidi. Pria 58 tahun
itu selalu terenyuh ketika melihat keadaan sungai yang tercemar oleh sampah.
Baginya, sungai bedadung bukan sebatas ikon Kabupaten Jember, melainkan nadi
bagi kehidupan dia dan keluarganya.
Dengan menjadi tempat
tinggalnya berbagai jenis ikan, udang serta binatang lainnya. Sebelum tercemar,
sungai ini adalah tempat bagi Ponidi mendulang rizki. Namun, seiring
perkembangan zaman, masyarakat mulai acuh terhadap lingkungan. Kesibukan kerap
menjadi alasan, sehingga mereka enggan berpartisipasi merawat bumi. Dampaknya, banyak
manusia tinggal di dekat sungai, namun justru menjadikan sungai itu sebagai
tempat pembuangan sampah.
“Dahulu, orang selalu
membuat Joglangan (kubangan tanah
untuk membuang sampah), tak ada ada orang yang berani membuang sampah ke
sungai. Karena takut kwalat (terkena
bala’),” kata Ponidi, Rabo (20/5). warga Dusun Penitik, Desa Wonosari,
Kecamatan Puger, yang saat ini beralih profesi sebagai buruh tani.
Sebelumnya, kakek dua cucu
tersebut menggantungkan hidupnya di aliran sungai bedadung. Jika tidak mancing,
dia akan membentangkan jaring untuk menangkap ikan. Terutama dimusim kemarau,
saat air sungai surut. “Mungkin benar kata orang-orang tua dulu. Esok, ketika
jaman akhir, pasar ilang kumandange, kali
ilang kedunge (pasar tradisional tak lagi bergema dan sungai tak lagi ada
cerukan yang dalam),” ujar dia, mengutip petuah sang nenek moyang.
Kini, sampah-sampah terlihat
berserakan menghiasi pinggiran Bedadung. Terutama, dialiran sungai mulai dari
Kecamatan Balung, hingga Kecamatan Puger. Bahkan, mungkin dimulai dari hulu
sungai hingga hilir, yang bermuara di pantai Plawangan Puger.
Tidak jarang pula di
jumpai, sampah plastik yang tersangkut di reranting bambu dan pepohonan yang
tumbuh di sepanjang bibir sungai. Anak-anak pun enggan bermain, apalagi mandi
di sugai tersebut. Hanya beberapa orang dewasa yang memancing ikan, itupun
sekedar melepas penat usai bekerja di sawah.
“Dahulu, sungai ini
disebut kali bening, jika musim kemarau airnya sangat jernih,” kenang Kotib
(38), warga Dusun Lengkong, Desa Wonosari, Kecamatan Puger. Dia menceritakan
sebutan lain dari sungai bedadung yang di kenal masyarakat desanya.
Semasa Kotib kanak-kanak,
kali bening kerap dijadikan bocah setempat untuk mandi dan bermain kala
kemarau. “Yang paling populer masa itu, adalah bajul-bajulan. Yakni, saling kejar didalam air. Jadi, adu jago
renang,” ucapnya.
Melihat kondisi sungai
yang kian hari, kian mengenaskan. Kotib
merasa miris. Entah sampai kapan pemandangan itu terus bertahan. Bertahan untuk
tetap menjadi tempat yang tercemar, atau bahkan lebih buruk lagi, menjadi
tempat sampah yang terpanjang di Jember.
Andai saja asa itu masih
ada, Kotib berharap, sungai bedadung ini kembali menjadi tempat yang bersih
seperti sedia kala. “Tentu hal ini merupakan tugas bersama, antara pemerintah dan
masyarakat yang masih peduli akan sungai bersejarah ini,” ujarnya. (ruz)